Indahnya Ukhuwah Manisnya Iman



(Risalah Buat Saudariku)

Saudariku Fillah…

Malam semakin larut, suasana semakin sunyi, yang terdengar hanya suara jangkrik, sesekali desiran angin menerpa pepohonan dan satu dua makhluk Allah terjaga dari tidurnya. Jarum jam yang berdetak semakin menambah kesenyapan malam dan mataku belum lagi dapat terpejam.

Masih terngiang dengan jelas semua ucapanmu dan masih melekat dengan kuat ekspresi wajahmu…Hhffff…hampir saja kita kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidup kita.Yang akan menjadikan bumi terasa sempit, dada terasa sesak, langkah semakin berat dan tubuhpun lemah tak bertenaga.

Saudariku… tak terasa waktu berlalu begitu cepat. Tak teringat lagi telah berapa lama kita berkumpul dalam persaudaraan ini. Semangatmu, tutur katamu, tatapanmu dan juga senyummu sering menjadi cermin bagiku tuk tetap tegar dalam melangkah di jalan ini. Kebahagiaan yang kau rasakan adalah kebahagiaanku juga, kesedihanmu adalah kesedihanku dan lemahnya dirimupun dapat melemahkan diriku.

Tak heran jika dalam sebuah hadist dikatakan: “Orang mukmin itu ibarat satu tubuh, apabila ada anggota tubuhnya sakit maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya.” Dalam riwayat yang lain juga dikatakan:” Tidak beriman seseorang dari kalian hingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya.”

Saudariku, betapa banyak riwayat dari Rosulullah yang menganjurkan kita untuk senantiasa menjaga ukhuwah. Sebagaimana juga dalam riwayat berikut:” Barangsiapa yang hendak merasakan manisnya iman, hendaklah ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri”. Di dalam Al Qur’anul Karimpun Allah Azza wa Jalla mengatakan; “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.” Maka sudah seyogyanya kita senantiasa meletakkan persaudaraan itu diatas yang lainnya. Mengutamakan ukhuwah dari kepentingan pribadi adalah ciri dari seorang mukmin yang baik akhlaknya. Bahkan ketika kita melihat sejarah para sahabatpun banyak yang memberikan teladan akan indahnya ukhuwah yang mereka jalani. Masih ingatkah kita akan kisah Abdurrahman bin Auf ketika hijrah ke Yatsrib tanpa membawa sepeserpun kekayaannya dari Makkah, oleh seorang sahabat Anshar beliau ditawari untuk mengambil sebagian hartanya, bahkan isterinya sekalipun akan diceraikannya dan akan dinikahkan dengan beliau. Juga kisah tiga orang sahabat pada perang Uhud, mereka lebih mengutamakan yang lainnya daripada dirinya sendiri yang sangat membutuhkan seteguk air dan akhirnya mereka semuanya syahid tanpa meminum air setetespun. Dan masih banyak lagi kisah indahnya ukhuwah diantara para sahabat yang kesemuanya mengajarkan pada kita betapa pentingnya nilai dari persaudaraan ini.

Saudariku…Persaudaraan karena Allah yang dilandasi semangat ta’awun dan tanashshuh (saling menolong, mengingatkan atau menasehati)ini insyaAllah akan abadi.

Bahkan Allah Ta’ala akan memberikan naunganNya pada saat tidak ada lagi tempat bernaung selain naunganNya, yaitu di padang Mahsyar kelak. Orang-orang yang bercinta dan bersaudara karena Allah, disediakan bagi mereka mimbar-mimbar dari cahaya. Sebaliknya, persaudaraan tanpa dilandasi keimanan pada Allah akan mejadi musuh satu sama lain,seperti yang digambarkan Allah Ta’ala dalam firmanNya:

“Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya, dari ibu dan bapaknya, dari isteri dan anak-anaknya.” (Qs.Abasa;34-36)

Semua persaudaraan dan persahabatan, baik karena nasab (keturunan), harta, jabatan dan kepentingan duniawi lainnya akan musnah dan bercerai berai jika tidak dilandasi persaudaraan karena Allah.

Saudariku Fillah, jalan dakwah yang terbentang dihadapan kita masih panjang. Jalan ini adalah jalan kesusahan dan kesabaran yang berujung pada kebahagiaan. Pengorbanan demi pengorbanan senantiasa dituntut agar dapat istiqomah di jalan ini. Pengorbanan yang meliputi tenaga, waktu, fikiran, perasaan bahkan jiwa dan raga sekalipun merupakan sesuatu yang telah ditetapkan Allah. Para Nabi dan shiddiqin, orang-orang terdahulu dari umat ini, telah meninggalkan jejak pengorbanan yang luar biasa bagi kita. Namun dibalik kekuatan kita menghadapi tantangan dakwah ini, kita membutuhkan ukhuwah dan persaudaraan. Ukhuwah yang akan membuat kita kuat dan istiqomah. Dalam Al Qur’an Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman;

Berpegangteguhlah kamu pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai…”

Saudariku…Kita membutuhkan persaudaraan yang kuat, ukhuwah yang utuh dan tidak mudah goyah apalagi hanya karena prasangka belaka. Berbaik sangka adalah modal utama dalam menjaga ukhuwah kita. Kita hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan. Apa yang terjadi diantara kita adalah sesuatu yang sunatullah. Ada-ada saja hal yang akan menguji kesabaran dan keimanan kita. Ketika ada masalah diantara kita, marilah kita selesaikan dengan musyawarah dan kekeluargaan. Jangan sampai buruk sangka membuat kita kehilangan kesabaran dan akal sehat kita. Buruk sangka hanya akan membakar emosi kita, menggerogoti iman kita dan menyakitkan hati kita. Sehingga persaudaraan akan berubah menjadi permusuhan, kedengkian, dan memunculkan rentetan penyakit hati lainnya.

Jika ada hal yang mengganjal, atau datang seseorang membawa berita yang tidak mengenakkan, segeralah kita mentabayyun (memperjelas) masalah tersebut langsung kepada sumbernya (QS.Al Hujurat; 6) Jangan sampai kita menjadi tentara-tentara syetan untuk Qiila wa Qoola, menceritakan aib saudara kita tanpa memperjelasnya terlebih dahulu. Jika sekiranya berita tersebut benar, berarti kita telah membantu saudara kita untuk mengingatkannya dan memperbaikinya dari kesalahan. Dan cukuplah aib saudaramu hanya bagi dirimu seorang. Sebab kitapun berharap agar aib kitapun hanya bagi Allah semata. Telah begitu banyak aib kita yang ditutup oleh Allah Ta’ala yang jika aib tersebut dibuka, maka takkan ada orang yang mau bergaul, apalagi mendengr dakwah kita. Bahkan di Yaumil Hisab pun Allah akan menutup aib orang-orang yang menutupi aib saudaranya. Di hari At Taghobun, hari ditampakkannya kesalahan kesalahan manusia.

Saudariku Fillah… Dengan mentabayyun akan memperjelas semuanya. Jika kita keliru menilai saudara kita, maka kita akan memperoleh keterangan yang jelas tentang keadaan yang sebenarnya. Hati kita akan terasa lapang, dada menjadi plong dan kita terhindar dari maksiat ghibah, namimah, tajassus dan berbagai kemungkaran lainnya yang akan semakin membuat terpuruknya ummat ini . Dalam QS. Al Hujurat ; 12 Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari

prasangka, sesungguhnya sebagian dari prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain…”

Betapa indahnya ajaran Islam, betapa nikmatnya hidup berislam. Ketenangan dan kedamaian akan mewarnai hari-hari kita. Namun sayangnya belum banyak yang merasakan indahnya hidup dalam naungan Islam.Masih banyak saudara kita yang mengaku muslim namun berada jauh dari syariat Islam. Disinilah tugas kita. Mengajak saudara kita yang lain untuk turut serta menikmati keindahan Islam ini, demi terwujudnya Izzul Islam wal Muslimun.

Saudariku, marilah kembali kita bergandengan tangan, merekatkan ukhuwah diantara kita. Membangun kembali persaudaraan yang hampir retak. Berjalan bersama menuju cita-cita. Meraih kebahagiaan dan keridhoan Allah. Jalan dakwah terbentang dihadapan kita. Mari kita gapai kemenangan bersama. Betapa bahagianya ketika melihat senyum kembali merekah, memancarkan sinar keikhlasan dari hati yang saling memaafkan. Always smile Ukh ! , “senyummu kepada saudaramu adalah shadaqah”. (Al Hadits).

Saudariku… Tak terasa waktu telah beranjak meninggalkan pertengahan malam. Tiba saatnya bagi orang-orang yang khusyuk dan Ikhlas tuk menghadap Sang Khaliq. Bermunajat dalam dekapan malam, melantunkan bait-bait doa dan Istighfar. Melatih jiwa dan hati tuk mencintai akhirat, negeri abadi. Semoga kita termasuk di dalamnya. Semoga Allah Azza wa Jalla berkenan mengampuni dosa-dosa kita, baik yang nampak maupun yang tersembunyi, baik yang kita sadari maupun yang tidak. Betapa banyaknya kita melalaikannya, sementara waktu terus berjalan. Hanya kepadaNyalah kembalinya segala urusan. Wallahu Waliyyut Taufiq. Kuakhiri risalah untukmu, semoga bermanfaat bagi siapapun yang membacanya, Amiin.


Selain puasa, amalan afdhal Ramadhan adalah menambah ilmu. Ulama salaf gigih mengembangkan ilmu.


Oleh: Adian Husaini

Suatu ketika, pada akhir bulan Sya’ban, Rasulullah saw berkhutbah di hadapan para sahabat :

‘’Wahai manusia, sesungguhnya kamu akan dinaungi oleh bulan yang senantiasa agung dan lagi penuh keberkatan; yaitu bulan yang didalamnya ada suatu malam yang lebih baik dari seribu bulan ; bulan yang Allah telah menjadikan puasa-Nya suatu fardhu dan qiyam di malam harinya suatu tathawwu’. Barangsiapa mendekatkan dirinya kepada Allah dengan suatu perbuatan di dalam bulan itu, maka samalah dia dengan orang yang menunaikan suatu fardhu di bulan lain. Dan barangsiapa menunaikan suatu fardhu di bulan Ramadhan, samalah dia dengan orang yang mengerjakan tujuh puluh fardhu di bulan lain. Ramadhan adalah bulan kesabaran, sedangkan kesabaran, pahalanya adalah surga. Ramadhan adalah bulan memberikan pertolongan dan bulan Allah menambah rizki para mukmin di dalamnya. Barangsiapa yang memberi makanan berbuka di dalamnya kepada orang yang berpuasa, adalah yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan kemerdekaan dirinya dari api neraka. Orang yang memberikan makanan berbuka puasa, baginya seperti pahala orang yang mengerjakan puasa itu, tanpa sedikit pun berkurang.’’ (HR. Ibn Khuzaimah dari Salman r.a.; dikutip dari buku Pedoman Puasa, karya Prof. Hasbi Ash-Shiddieqy, 1986:20, dengan sedikit perubahan redaksi terjemahan).

Sebagai muslim yang meyakini hal-hal ghaib, semisal soal pahala dan dosa, maka kita perlu menyiapkan diri sebaik-baiknya dalam menyambut bulan Ramadhan. Di bulan inilah kita diberikan kesempatan untuk menabung pahala amal sebanyak-banyaknya, agar di akhirat nanti, timbangan amal baik kita lebih banyak daripada timbangan amal jahat; agar kita tidak muflis (bangkrut). Rasulullah saw menyebutkan adanya orang-orang muflis di hari kiamat. Yaitu orang-orang yang amal-amal baiknya habis dibagikan kepada orang lain. Orang seperti ini bangkrut karena semasa di dunia tidak menyelesaikan berbagai urusannya dengan orang lain, semisal masalah hutang, penyerobotan harta orang lain, penganiayaan, dan sebagainya. Karena itulah, seyogyanya kita memanfaatkan bulan Ramadhan untuk memperbanyak tabungan amal baik kita di akhirat.

Salah satu amal yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah adalah segala aktivitas yang berkaitan dengan urusan keilmuan, baik menuntut ilmu, mengajarkannya, atau segala aktivitas yang terkait dengan pengembangan keilmuan. Melalui ilmulah manusia dapat mengenal Allah dan memahami cara beribadah kepada-Nya dengan benar. Hanya dengan ilmu manusia dapat memahami mana yang benar dan mana yang salah, mana yang tauhid dan mana yang syirik, mana yang halal dan mana yang haram. Allah SWT menjanjikan:

”Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS Al-Mujadilah:11)

Rasulullah saw juga bersabda:

”Barangsiapa yang dikehendaki Allah dengan kebaikan maka Allah menjadikannya faqih (memahami dengan baik) dalam masalah agama (Islam) dan mengilhami petunjuk-Nya.” (Muttafaq alaihi).

”Ulama adalah pewaris para Nabi.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Ibn Majah dan Ibn Hibban).

”Manusia itu laksana barang tambang seperti tambang emas dan perak. Orang-orang yang terbaik di masa jahiliyah adalah orang-orang yang terbaik juga di dalam Islam, apabila mereka memahami Islam.” (Muttafaq alaihi, dari Abu Hurairah).

Umar r.a. berkata: ”Kematian seribu ’abid (ahli ibadah) yang mendirikan malam dan puasa di siang hari adalah lebih ringan daripada kematian seorang ’alim yang mengetahui apa yang dihalalkan dan yang diharamkan oleh Allah.”

Karena begitu pentingnya masalah keilmuan ini, maka Allah memerintahkan, dalam kondisi apa pun, maka masyarakat harus tetap memberikan perhatian terhadap ilmu. Bahkan disaat perang sekali pun. ”Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam ilmu tentang agama.” (QS at-Taubah: 122). ”Maka tanyakanlah kepada orang yang mempunyai ilmu, jika kamu tidak mengetahui.” (QS an-Nahl: 43).

Rasulullah saw bersabda:

”Barangsiapa menempuh jalan yang padanya dia menuntut ilmu, maka Allah telah menuntunnya jalan ke surga.” (HR Muslim).

”Sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya pada orang yang menuntut ilmu karena ridha dengan apa yang ia lakukan.” (HR Ahmad, Ibn Hibban, dan Hakim).

”Barangsiapa didatangi kematian dimana dia sedang menuntut ilmu untuk menghidupkan Islam, maka antara dia dan para Nabi di surga adalah satu tingkat derajat.” (HR Ad Darimi dan Ibn Sunni dengan sanad hasan).

Ibn Abbas r.a. berkata: ”Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai daripada menghidupkan malam itu.”

Imam Syafii rahimahullah berkata: ”Menuntut ilmu adalah lebih utama daripada shalat sunnah.” (NB. Hadits shahih dan hasan serta pendapat sahabat dikutip

dari Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam al-Ghazali. Terjemahan oleh Drs. H. Moh. Zuhri, penerbit Asy-Syifa).

Para ulama yang merupakan pewaris para Nabi selama ini begitu gigih dalam mengembangkan keilmuan. Merekalah yang telah berjasa menjaga otentisitas Islam sehingga kita dapat mewarisi agama yang dibawa oleh Rasulullah saw ini. Kegigihan para ulama dalam mengembangkan keilmuan Islam begitu tingginya. Tradisi keilmuan itulah yang mampu mengantarkan kejayaan Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Apalagi, saat misi Islam itu mendapat dukungan dari para penguasa yang baik.

Saat berkunjung ke Indonesia, Prof. Wahbah az-Zuhaili, penulis kitab al-Fiqh al-Islam wa Adillatuhu dan Tafsir al-Munir pernah ditanya, berapa jam beliau membaca dan menulis. Beliau menjawab: Tidak kurang dari 16 jam sehari. Imam Nawawi (w. 676 H), penulis Kitab Riyadhush Shalihin, al-Majmu’, dan Syarah Shahih Muslim, disebutkan bahwa beliau setiap hari belajar 8 cabang ilmu dari subuh sampai larut malam. Al-Mizzi, Ibn Katsir, Ibn al-Qayyim al-Jauziyah, Ibn Hajar, al-Suyuthi, al-Sakhawi, dan ulama besar lainnya, menyisihkan lebih dari 15 jam per hari untuk membaca dan menulis. (Kisah beberapa ulama ini dikutip dari buku Selangkah Lagi Mahasiswa UIN jadi Kiyai, karya Dr. Ahmad Lutfi Fathullah).

Karena begitu besarnya keberkahan dan pahala yang dijanjikan Allah di bulan Rmadhan, maka sayang sekali, jika bulan Ramadhan nanti tidak kita manfaatkan semaksimal mungkin untuk menuntut ilmu dan mengembangkan berbagai aktivitas keilmuan lainnya.

Disamping berbagai aktivitas ibadah lain, aktivitas keilmuan harusnya tetap menjadi aktivitas utama di bulan Ramadhan. Ada tradisi yang baik di berbagai pondok pesantren di Indonesia saat memasuki bulan Ramadhan. Biasanya, mereka mengadakan ’pasan’, berupa kajian kitab-kitab di bulan Ramadhan secara maraton. ara santri, baik yang pendatang musiman maupun santri tetap, diwajibkan mengkaji kitab-kitab mulai habis subuh sampai malam hari, dengan beberapa kali penggal istirahat.

Tradisi keilmuan yang baik ini perlu dikembangkan lebih jauh. Sudah tiba saatnya di bulan Ramadhan ini, majlis-majlis taklim dan masjid-masjid bukan hanya mengadakan acara baca Al-Quran, tetapi juga mengadakan kajian tentang aqidah dan pemikiran Islam, kajian tentang ulumul Quran, ulumul hadits, bahasa Arab, dan berbagai kajian bidang keilmuan Islam lainnya. Sebab, virus-virus perusak pemikiran dan aqidah Islam kini bergentayangan begitu bebas di tengah-tengah kita.

Beberapa tahun belakangan ini, kita menyaksikan, kaum liberal di Indonesia juga ikut-ikutan memanfaatkan bulan Ramadhan ini untuk menyebarkan paham mereka.

Biasanya dilakukan dengan membuat program-program tertentu di media massa atau memanfaatkan forum buka bersama yang melibatkan berbagai aktivis lintas agama. Di zaman ’serba bebas’ seperti sekarang, kita tentu tidak bisa melarang mereka. Apalagi, mereka disokong oleh kekuatan-kekuatan media dan pendanaan global. Yang bisa kita lakukan adalah memahami dengan baik, maka ide yang benar dan mana ide yang bathil, dari mana pun datangnya. Kita hanya menyatakan, bagi kita amal kita dan bagi mereka amal mereka. Masing-masing akan bertanggung jawab di hadapan Allah nanti.

Mudan-mudahan Allah meberikan berkah kepada kita di bulan Sya’ban ini dan memberikan kesempatan kepada kita untuk memasuki bulan Ramadhan tahun ini dalam keadaan iman yang selamat dan badan yang sehat wal ’afiat. Amin. [Depok, 1 September 2007/ www.hidayatullah.com]


Bagi umat Islam Indonesia, nama Natsir tentu sudah sangat tidak asing. Seabad pemikiran Islam ini dibedah.

Oleh: Adian Husaini

Kamis (15 November 2007), di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, digelar sebuah acara peluncuran panitia Refleksi Seabad Moh. Natsir: Pemikiran dan Perjuangannya. Sejumlah tokoh Islam dan pejabat tinggi negara tampak hadir, diantaranya Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia Syuhada Bahri, Ketua MUI KH Khalil Ridwan, Ketua Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Jimly As-Shiddiqy, Menteri Sosial Bakhtiar Chamsah, Wakil Ketua MPR AM Fatwa, dan sebagainya. Tampil sebagai pembicara dalam seminar Prof. Dr. Ichlasul Amal, Ketua Dewan Pers yang juga mantan rektor UGM Yogya.

Moh. Natsir lahir di Alahan Panjang, Sumatera Barat, 17 Juli 1908. Karena itu, puncak peringatan seabad Moh. Natsir akan dijadwalkan pada 17 Juli 2008. Tetapi, berbagai persiapan telah dilakukan oleh panitia. Duduk sebagai ketua kehormatan dalam panitia ini adalah Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Bagi umat Islam Indonesia, nama Natsir tentu sudah sangat tidak asing. Ia adalah seorang pemikir, dai, politisi, dan sekaligus pendidik Islam terkemuka. Ia dikenal sebagai tokoh, bukan saja di Indonesia, tetapi juga di dunia Islam. Dalam sambutannya, Ketua Umum Dewan Da’wah, Syuhada Bahri menggambarkan Natsir sebagai pribadi yang sangat unik. Menurut Syuhada, bidang apa pun yang digeluti Moh. Natsir, visinya sebagai dai dan pendidik senantiasa menonjol. Secara panjang lebar Syuhada menceritakan pengalaman pribadinya selama lima tahun bekerja satu ruang dengan Natsir.

Jika kita membuka lembaran hidup Natsir, kita memang menemukan sebuah perjalanan hidup yang menarik. Sebagai politisi, Natsir pernah menduduki posisi Perdana Menteri RI pertama tahun 1950-1951, setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jasa Natsir dalam soal terbentuknya NKRI ini sangat besar. Pada 3 April 1950, sebagai anggota parlemen, Natsir mengajukan mosi dalam Sidang Parlemen RIS (Republik Indonesia Serikat). Mosi itulah yang dikenal sebagai ”Mosi Integral Natsir”), yang memungkinkan bersatunya kembali 17 Negara Bagian ke dalam NKRI. Ketua Mahkamah Konstitusi, dalam sambutannya, juga menekankan jasa besar Natsir dalam soal NKRI ini, sehingga bangsa Indonesia sangat layak memberi penghargaan kepada Natsir. Selain itu, Natsir juga berulang kali duduk sebagai menteri dalam sejumlah kabinet.

Dalam kesempatan itu, Mensos Bachtiar Chamsah mengakui, bahwa dirinya, sebagai Menteri, sudah mengajukan Natsir agar diberi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Usulan itu didasarkan atas usulan dari Pemda Sumatera Barat. Tetapi, tahun ini, usulan itu masih terganjal. Bachtiar tidak menjelaskan mengapa usulan itu Natsir ditolak oleh pihak Istana Kepresidenan. Yang jelas, katanya, tahun depan, dia akan mengajukan usulan yang sama. Banyak yang menduga, keterlibatan Natsir dalam PRRI merupakan faktor utama terganjalnya usulan tersebut.

Tetapi, baik keluarga maupun para pelanjut perjuangan Moh. Natsir tidak terlalu mempersoalkan hal itu. Natsir bukan hanya pahlawan bagi Indonesia. Tetapi, dunia Islam sudah mengakuinya sebagai pahlawan yang melintasi batas bangsa dan negara. Tahun 1957, Natsir menerima bintang ’Nichan Istikhar’ (Grand Gordon) dari Presiden Tunisia, Lamine Bey, atas jasa-jasanya dalam membantu perjuangan kemerdekaan rakyat Afrika Utara. Tahun 1980, Natsir juga menerima penghargaan internasional (Jaa-izatul Malik Faisal al-Alamiyah) atas jasa-jasanya di bidang pengkhidmatan kepada Islam untuk tahun 1400 Hijriah. Penghargaan serupa pernah diberikan kepada ulama besar India, Syekh Abul Hasan Ali an-Nadwi dan juga kepada ulama dan pemikir terkenal Abul A’la al-Maududi. Karena itulah, hingga akhir hayatnya, tahun 1993, Natsir masih menjabat sebagai Wakil Presiden Muktamar Alam Islami dan anggota Majlis Ta’sisi Rabithah Alam Islami.

Adalah menarik jika menilik riwayat pendidikan Natsir. Tahun 1916-1923 Natsir memasuki HIS (Hollands Inlandsche School) di Solok. Sore harinya, ia menimba ilmu di Madrasah Diniyah. Tahun 1923-1927, Natsir memasuki jenjang sekolah MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Padang. Lalu, pada 1927-1930, ia memasuki jenjang sekolah lanjutan atas di AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung. Lulus dengan nilai tinggi, ia sebenarnya berhak melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum di Batavia, sesuai dengan keinginan orang tuanya, agar ia menjadi Meester in de Rechten, atau kuliah ekonomi di Rotterdam. Terbuka juga peluang Natsir untuk menjadi pegawai negeri dengan gaji tinggi.

Tetapi, semua peluang itu tidak diambil oleh Natsir, yang ketika itu sudah mulai tertarik kepada masalah-masalah Islam dan gerakan Islam. Natsir mengambil sebuah pilihan yang berani, dengan memasuki studi Islam di ‘Persatuan Islam’ di bawah asuhan Ustad A. Hasan. Tahun 1931-1932, Natsir mengambil kursus guru diploma LO (Lager Onderwijs). Maka, tahun 1932-1942 Natsir dipercaya sebagai Direktur Pendidikan Islam (Pendis) Bandung.

Natsir memang seorang yang haus ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Syuhada Bahri menceritakan pengalamannya selama bertahun-tahun bersama Natsir. Hingga menjelang akhir hayatnya, Natsir selalu mengkaji Tafsir Al-Quran. Tiga Kitab Tafsir yang dibacanya, yaitu Tafsir Fii Dzilalil Quran, Tafsir Ibn Katsir, dan Tafsir al-Furqan karya A. Hasan.

Kecintaan Natsir di bidang pendidikan dibuktikannya dengan upayanya untuk mendirikan sejumlah universitas Islam. Setidaknya ada sembilan kampus yang Natsir berperan besar dalam pendiriannya, seperti Universitas Islam Indonesia, Universitas Islam Bandung, Universitas Islam Sumatera Utara, Universitas Riau, Universitas Ibn Khaldun Bogor, dan sebagainya. Tahun 1984, Natsir juga tercatat sebagai Ketua Badan Penasehat Yayasan Pembina Pondok Pesantren Indonesia. Di bidang pemikiran, tahun 1991, Natsir menerima gelar Doktor Honoris Causa dari Universiti Kebangsaan Malaysia.

Natsir memang bukan sekedar ilmuwan dan penulis biasa. Tulisan-tulisannya mengandung visi dan misi yang jelas dalam pembelaan terhadap Islam. Ia menulis puluhan buku dan ratusan artikel tentang berbagai masalah dalam Islam. Menurut Mensos Bachtiar Chamsah, tulisan-tulisan Natsir menyentuh hati orang yang membacanya.

Dalam kesempatan ini, kita cuplik sebuah artikel yang ditulis Natsir pada tahun 1938, yang berjudul ”Suara Azan dan Lonceng Gereja”. (Ejaan telah disesuaikan dengan EYD).

Natsir membuka tulisannya dengan untaian kalimat berikut:

”Sebaik-baik menentang musuh ialah dengan senjatanya sendiri! Qaedah ini dipegang benar oleh zending dalam pekerjaannya menasranikan orang Islam. Tidak ada satu agama yang amat menyusahkan zending dan missi dalam pekerjaan mereka daripada agama Islam.”

Artikel Natsir ini mengomentari hasil Konferensi Zending Kristen di Amsterdam pada 25-26 Oktober 1938. Natsir sangat peduli dengan Konferensi tersebut, yang antara lain menyorot secara tajam kondisi umat Islam Indonesia. Dr. Bakker, seorang pembicara dalam Konferensi tersebut mengungkapkan kondisi umat Islam sebagaimana yang digambarkan dalam buku Prof. Dr. H. Kraemer, The Christian Message in a non-Christian World. Kata Dr. Bakker, ”Orang Islam yang berada di bawah pemerintahan asing lebih konservatif memegang agama mereka dari negeri-negeri yang sudah merdeka.”

Dr. Baker juga mengungkap tentang pengaruh pendidikan Barat terhadap umat Islam. Katanya, ”Masih juga banyak orang Islam memegang agama mereka yang turun-temurun dari dulu itu, akan tetapi banyak pula yang sudah terlepas dari agama mereka, terutama lantaran pelajaran Barat yang katanya netral itu telah merampas dasar lain yang akan gantinya.”

Natsir sangat peduli akan pengaruh pendidikan Barat terhadap generasi muda. Ia menulis, bahwa ketika itu, sudah lazim dijumpai anak-anak orang Islam yang telah sampai ke sekolah-sekolah menengah yang belum pernah membaca Al-Fatihah seumur hidupnya, atau susah payah belajar membaca syahadat menjelang dilangsungkannya akad nikah. Karena itulah, tulis Natsir, Prof. Snouck Hurgronje pernah menulis dalam bukunya, Nederland en de Islam, ”Opvoeding en onderwijs zijn in staat, de Moslims van het Islamstelsel te emancipeeren.” (Pendidikan dan pelajaran dapat melepaskan orang Muslimin dari genggaman Islam).

Selanjutnya, Dr. Bakker mengingatkan, bahwa kaum misionaris Kristen harus lebih serius dalam menjalankan aksinya di Indonesia, supaya di masa yang akan datang, Indonesia tidak lebih susah dimasuki oleh misi Kristen.

Menanggapi rencana Misi Kristen di Indonesia tersebut, Natsir mengimbau umat Islam:

”Waktu sekaranglah kita harus memperlihatkan kegiatan dan kecakapan menyusun barisan perjuangan yang lebih rapi. Jawablah Wereldcongres dari Zending itu dengan congres Al-Islam yang sepadan itu ruh dan semangatnya, untuk memperteguh benteng keislaman. Sebab tidak mustahil pula di negeri kita ini, suara azan bakal dikalahkan oleh lonceng gereja. Barang bathil yang tersusun rapi, akan mengalahkan barang haq yang centang-perenang.!” (Dimuat di Majalah PANDJI ISLAM, No. 33-34, 1938; dikutip dari buku M. Natsir, Islam dan Kristen di Indonesia (kumpulan karangan yang dihimpun dan disusun oleh Endang Saifuddin Anshari, (Bandung: CV Bulan Sabit, 1969).

Demikianlah salah satu pesan Natsir yang mengingatkan kaitan erat antara gerak Penjajahan, Misi Kristen, dan Orientalisme. Karena pentingnya peran pendidikan ala Barat dalam menjauhkan generasi muda Islam dari agamanya, bisa dimengerti jika Natsir sangat serius dalam upaya pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia. Kita berdoa, mudah-mudahan civitas academica di kampus-kampus Islam yang dipelopori pendiriannya oleh Natsir memahami misi besar ini, dan tidak terjebak ke dalam paham-paham sekularisme atau liberalisme Barat yang secara gigih diperangi oleh Natsir sepanjang hidupnya.

Betapa zalimnya, andaikan ada kampus Islam yang dulu didirikan dengan niat mulia untuk memperjuangkan Islam justru menjadi tempat perkaderan intelektual-intelektual yang merusak Islam. [Depok, 16 November 2007/www.hidayatullah.com]

”Islam Menjawab Ahmadiyah”


Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, permainan media sangat canggih bisa menjadi fitnah bagi umat Islam.

Oleh: Adian Husaini

Harian Republika (23 Mei 2008) menurunkan artikel berjudul ”Ahmadiyah Menjawab”, karya MB Shamsir Ali SH SHD, Plt. Sekretaris Media dan Informasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Isinya berupa penegasan bahwa Ahmadiyah adalah satu Jamaah Islam. Sejak keluarnya artikel tersebut, saya menerima sejumlah SMS yang meminta agar artikel tersebut dijawab.

Syukurlah, pada 26 Mei 2008, Republika menurunkan artikel Dr. Syamsuddin Arif yang berjudul ”Solusi Masalah Ahmadiyah”. Artikel ini dengan sangat gamblang menjelaskan apa dan bagaimana Ahmadiyah dan mengapa para cendekiawan dan ulama besar di dunia Islam sudah menegaskan bahwa Ahmadiyah adalah aliran di luar Islam. Catatan berikut ini akan lebih memperjelas bagaimana sebenarnya posisi Ahmadiyah dan Islam, khsusunya dari sisi pandang Ahmadiyah sendiri.

Dalam berbagai artikel dan dialog di media massa Indonesia, para tokoh Ahmadiyah dan pendukungnya – yang biasanya mengaku bukan pengikut Ahmadiyah – sering mengangkat ”logika persamaan”. Bahwa, Ahmadiyah adalah bagian dari Islam, karena banyak persamaannya. Al-Quran-nya sama, syahadatnya sama, shalatnya sama, dan hal-hal yang sama lainnya. Maka, kata mereka, demi keharmonisan hidup dan kerukunan masyarakat, mengapa Ahmadiyah tidak diakui saja sebagai bagian dari Islam.

Benarkah logika semacam ini?

Penyair dan cendekiawan Muslim terkenal asal Pakistan, Dr. Muhammad Iqbal (1873-1938), pernah menulis sebuah buku berjudul ”Islam and Ahmadism” (Tahun 1991 di-Indonesiakan oleh Makhnun Husein dengan judul ”Islam dan Ahmadiyah”. Terhadap klaim Mirza Ghulam Ahmad bahwa dia adalah nabi dan penerima wahyu, Iqbal mencatat: ”Orang yang mengakui mendapatkan wahyu seperti itu adalah orang yang tidak patuh kepada Islam. Karena kelompok Qadiani mempercayai pendiri gerakan Ahmadiyah sebagai penerima wahyu semacam itu, berarti mereka menyatakan bahwa seluruh dunia Islam adalah kafir.”

Lebih jauh Iqbal menyatakan: ”Setiap kelompok masyarakat keagamaan yang secara historik timbul dari Islam, yang mengakui kenabian baru sebagai landasannya dan menyatakan semua ummat Muslim yang tidak mengakui kebenaran wahyunya itu sebagai orang-orang kafir, sudah semestinya dianggap oleh setiap Muslim sebagai bahaya besar terhadap solidaritas Islam. Hal itu memang sudah semestinya, karena integritas ummat Islam dijamin oleh Gagasan Kenabian Terakhir (Khatamun Nabiyyin) itu sendiri.”

Dalam menilai Ahmadiyah, Iqbal tidak terjebak kepada retorika logika persamaan. Iqbal mengacu pada inti persoalan, bahwa Ahmadiyah berbeda dengan Islam, sehingga dengan tegas ia menulis judul bukunya, Islam and Ahmadism. Titik pokok perbedaan utama antara Islam dan Ahmadiyah adalah pada status kenabian Mirza Ghulam Ahmad; apakah dia nabi atau bukan? Itulah pokok persoalannya.

Umat Islam yakin, setelah nabi Muhammad saw, tidak ada lagi manusia yang diangkat oleh Allah sebagai nabi dan mendapatkan wahyu. Tidak ada! Secara tegas, utusan Allah itu sendiri (Muhamamd saw) yang menegaskan: ”Sesungguhnya akan ada pada umatku tiga puluh orang pendusta. Masing-masing mengaku sebagai nabi. Padahal, akulah penutup para nabi, tidak ada lagi nabi sesudahku.” (HR Abu Dawud).

Jadi, umat Islam yakin, siapa pun yang mengaku sebagai nabi dan mendapat wahyu setelah nabi Muhammad saw – apakah Musailamah al-Kazzab, Lia Eden, atau Mirza Ghulam Ahmad – pasti bohong. Itu pasti! Inilah keyakinan Islam. Karena itu, pada 7 September 1974, Majelis Nasional Pakistan menetapkan dalam Konstitusi Pakistan, bahwa semua orang yang tidak percaya kepada Nabi Terakhir Muhammad secara mutlak dan tanpa syarat telah keluar dari kelompok umat Islam.

Sikap umat Islam terhadap Ahmadiyah sebenarnya juga dilakukan berbagai agama lain. Protestan harus menjadi agama baru karena menolak otoritas Gereja Katolik dalam penafsiran Bibel, meskipun antara kedua agama ini banyak sekali persamaannya. Tahun 2007, sebagian umat Hindu di Bali membentuk agama baru bernama agama Hindu Bali, yang berbeda dengan Hindu lainnya. Agama Kristen dan Yahudi mempunyai banyak persamaan. Bibel Yahudi juga dipakai oleh kaum Kristen sebagai kitab suci mereka (Perjanjian Lama). Tapi, karena Yahudi menolak posisi Yesus sebagai juru selamat, maka keduanya menjadi agama yang berbeda.

Logika persamaan harus diikuti dengan logika perbedaan, sebab ”sesuatu” menjadi ”dirinya” justru karena adanya perbedaan dengan yang lain. Meskipun banyak persamaannya, manusia dan monyet tetap dua spesies yang berbeda. Akal-lah yang menjadi pembeda utama antara manusia dengan monyet. Setampan apa pun seekor monyet, dia tidak akan pernah bisa menjadi seorang manusia.

Jika umat Islam bersikap tegas dalam soal kenabian Mirza Ghulam Ahmad, pihak Ahmadiyah juga bersikap senada. Siapa pun yang tidak beriman kepada kenabian Ghulam Ahmad, dicap sebagai sesat, kafir, atau belum beriman. Itu bisa dilihat dalam berbagai literatur yang diterbitkan Ahmadiyah.

Pada tahun 1989, Yayasan Wisma Damai – sebuah penerbit buku Ahmadiyah – menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Oleh pengikut Ahmadiyah, penulis buku ini diimani sebagai Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965). Buku ini aslinya ditulis dalam bahasa Urdu, dan pada tahun 1961, terbit edisi Inggrisnya dengan judul ”Invitation to Ahmadiyyat”.

Para pendukung Ahmadiyah – dari kalangan non-Ahmadiyah – baiknya membaca buku ini, sebelum bicara kepada masyarakat tentang Ahmadiyah. Ditegaskan di sini: ”Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hal. 377).

Mirza Ghulam Ahmad yang mengaku sebagai Masih al-Mau’ud mewajibkan umat Islam untuk mengimaninya. Kata Bashiruddin Mahmud Ahmad: ”Kami sungguh mengharapkan kepada Anda agar tidak menangguh-nangguh waktu lagi untuk menyongsong dengan baik utusan Allah Ta’ala yang datang guna menzahirkan kebenaran Rasulullah saw. Sebab, menyambut baik kehendak Allah Taala dan beramal sesuai dengan rencana-Nya merupakan wahana untuk memperoleh banyak keberkatan. Kebalikannya, menentang kehendak-Nya sekali-kali tidak akan mendatangkan keberkatan.” (hal. 372).

Menurut Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad – yang oleh kaum Ahmadiyah juga diberi gelar r.a. (radhiyallahu ’anhu), setingkat para nabi -- bukti-bukti kenabian Mirza Ghulam Ahmad lebih kuat daripada dalil-dalil kenabian semua nabi selain Nabi Muhammad saw. Sehingga, kata dia: ”Apabila iman bukan semata-mata karena mengikuti dengaran dari tuturan ibu-bapak, melainkan hasil penyelidikan dan pengamatan, niscaya kita mengambil salah satu dari kedua hal yaitu mengingkari semua nabi atau menerima pengakuan Hadhrat Masih Mau’ud a.s.” (hal. 372).

Jadi, oleh kaum Ahmadiyah, umat Islam diultimatum: iman kepada Ghulam Ahmad atau ingkar kepada semua nabi? Bandingkan logika kaum Ahmadiyah ini dengan ultimatum Presiden George W. Bush: ”You are with us or with the terrorists”. Oleh Ahmadiyah, umat Islam dipojokkan pada posisi yang tidak ada pilihan lain kecuali memilih beriman kepada para nabi dan menolak klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad.

Masih belum puas! Umat Islam diultimatum lagi oleh pemimpin Ahmadiyah ini: ”Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.” (hal. 374).

Jadi, begitulah pandangan dan sikap resmi Ahmadiyah terhadap Islam dan umat Islam. Dan itu tidak aneh, sebab Mirza Ghulam Ahmad sendiri mengaku pernah mendapat wahyu seperti ini: Anta imaamun mubaarakun, la’natullahi ‘alalladzii kafara (Kamu – Mirza Ghulam Ahmad – adalah imam yang diberkahi dan laknat Allah atas orang yang ingkar/Tadzkirah hal. 749). Ada lagi wahyu versi dia: “Anta minniy bimanzilati waladiy, anta minniy bimanzilatin laa ya’lamuha al-khalqu. (Kamu bagiku berkedudukan seperti anak-Ku, dan kamu bagiku berada dalam kedudukan yang tidak diketahui semua makhluk/Tadzkirah, hal. 236).

Itulah Ahmadiyah, yang katanya bersemboyan: ”Love for all. Hatred for None”. Namanya juga slogan! Zionis Israel pun juga mengusung slogan ”menebar perdamaian, memerangi terorisme”. Kaum Ahmadiyah pun terus-menerus menteror kaum Muslim dengan penyebaran pahamnya.

Dalam Surat Edaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia tanggal 25 Ihsan 1362/25 Juni 1983 M, No. 583/DP83, perihal Petunjuk-petunjuk Huzur tentang Tabligh dan Tarbiyah Jama’ah, dinyatakan:

“Harus dicari pendekatan langsung dalam pertablighan. Hendaknya diberitahukan dengan tegas dan jelas bahwa sekarang dunia tidak dapat selamat tanpa menerima Ahmadiyah. Dunia akan terpaksa menerima Pimpinan Ahmadiyah. Tanpa Ahmadiyah dunia akan dihimpit oleh musibah dan kesusahan dan jika tidak mau juga menerima Ahmadiyah, tentu akan mengalami kehancuran.”

Umat Islam sangat cinta damai. Tetapi, umat Islam tentunya lebih cinta kepada kebenaran. Demi cintanya kepada kebenaran dan juga pada ayahnya, maka Nabi Ibrahim a.s. berkata kepada ayahnya, “Aku melihatmu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata!”

Nabi Ibrahim a.s. dan semua Nabi adalah para pecinta perdamaian. Rasulullah saw juga pecinta damai. Tetapi, dalam masalah aqidah, kebenaran lebih diutamakan. Nabi Ibrahim harus mengorbankan kehidupannya yang harmonis dengan keluarga dan kaumnya, karena beliau menegakkan kalimah tauhid. Beliau menentang praktik penyembahan berhala oleh kaumnya, meskipun beliau harus dihukum dan diusir dari negerinya.

Dalam kasus Nabi palsu, misalnya, Nabi Muhammad saw dan juga sahabat Abu Bakar ash-Shiddiq lebih memilih mengambil sikap yang tegas, sebab ini sudah menyangkut soal aqidah, soal keimanan. Jangankan dalam soal kenabian. Dalam masalah kenegaraan saja, orang yang membuat gerakan separatis atau merusak dasar negara juga dikenai tuntutan hukum. Kaum separatis, meskipun melakukan aksi damai, berkampanye secara damai untuk mendukung aksi separatisme, tetap tidak dapat dibenarkan. Jadi, kalau orang berkampanye merusak Islam, seperti yang dilakukan oleh Ahmadiyah dan para pendukungnya, tetap tidak dapat dibenarkan dalam ajaran Islam.

Masalah aqidah, masalah iman, inilah yang jarang dipahami, atau sengaja diketepikan dalam berbagai diskusi tentang Ahmadiyah. Padahal, Ahmadiyah eksis adalah karena iman. Berbagai kelompok yang mendukung Ahmadiyah di Indonesia sebenarnya sudah sangat keterlaluan, karena mencoba untuk menafikan masalah iman ini. Bahkan tindakan-tindakan mereka – apalagi yang mengatasnamakan Islam dan menggunakan dalil-dalil Al-Quran -- lebih merusak Islam ketimbang Ahmadiyah itu sendiri.

Umat Islam Indonesia memang sedang menghadapi ujian berat. Hal-hal yang jelas-jelas bathil malah dipromosikan. Lihatlah TV-TV kita saat ini, begitu gencarnya menyiarkan aksi-aksi kaum homo dan lesbi, seolah-olah mereka tidak takut pada azab Allah yang telah ditimpakan kepada kaum Luth. Bahkan, para aktivis Liberal seperti Guntur Romli, pada salah satu tulisannya di Jurnal Perempuan, dengan sangat beraninya memutarbalikkan penafsiran ayat-ayat Al-Quran, sehingga akhirnya menghalalkan perkawinan sesama jenis.

Aktivis liberal yang satu ini juga sudah sangat keterlaluan dalam menghina Al-Quran. Dia menulis dalam salah satu artikelnya (Koran Tempo, 4 Mei 2007), yang berjudul Pewahyuan Al-Quran: Antara Budaya dan Sejarah” bahwa:

“Al-Quran adalah “suntingan” dari “kitab-kitab” sebelumnya, yang disesuaikan dengan “kepentingan penyuntingnya”. Al-Quran tidak bisa melintasi “konteks” dan “sejarah”, karena ia adalah “wahyu” budaya dan sejarah.”

Kita juga tidak mudah memahami pemikiran dan kiprah tokoh liberal lain seperti Prof. Dr. Siti Musdah Mulia, dosen UIN Jakarta, yang begitu beraninya membuat-buat hukum baru yang menghalalkan perkawinan muslimah dengan laki-laki non-Muslim dan perkawinan manusia sesama jenis. Meskipun sudah mendapat kritikan dari berbagai pihak, tetap saja dia tidak peduli. Bahkan, di Jurnal Perempuan edisi khusus tentang Seksualitas Lesbian, dia memberikan wawancara yang sangat panjang. Judul wawancara itu pun sangat provokatif: “Allah Hanya Melihat Taqwa, bukan Orientasi Seksual Manusia.”

Di zaman yang penuh dengan fitnah saat ini, karena permainan media yang yang sangat canggih, berbagai fitnah dapat menimpa umat Islam. Orang-orang yang jelas-jelas merusak Islam ditampilkan sebagai pahlawan kemanusiaan. Sedangkan yang membela Islam tidak jarang justru dicitrakan sebagai “penjahat” kemanusiaan. Dalam situasi seperti ini, disamping terus-menerus berusaha menjelaskan, mana yang haq dan mana yang bathil, kita juga diwajibkan untuk berserah diri kepada Allah SWT. Kita yakin, dan tidak pernah berputus asa, bahwa Allah adalah hakim Yang Maha Adil. [Depok, 25 Mei 2008/www.hidayatullah.com]


AISYAH DAN MA’ISYAH


Bagi pembaca yang masih lajang (termasuk saya) buku ini mungkin bisa membantu memberi gambaran pernikahan. Sepertinya menarik, penasaran ingin membacanya. Nanti setelah membacanya, akan saya uraikan point-pointnya di blog ini.

AISYAH DAN MA’ISYAH :
Persiapan Keuangan Menuju Pelaminan


Oleh: Ahmad GozaliTelah Terbit
Penerbit: Gema Insani Press
Harga: Rp 32.000,-

Aisyah adalah simbol istri sholehah idaman suami & dambaan mertua. Maisyah artinya penghasilan atau kemampuan finansial. Aisyah & Maisyah adalah dua hal yang menjadi impian seorang pemuda, mempersunting istri sholehah tanpa khawatir dengan kondisi keuangan.

Buku Aisyah & Maisyah ini memandang pernikahan dari sudut pandang keuangan. Karena kita tidak bisa pungkiri kebiasaan dan harapan masyarakat akan sebuah upacara resepsi pernikahan. Kita tidak bisa tutup telinga dari pesan-pesan orang tua agar bisa menyelenggarakan resepsi pernikahan yang mereka idamkan. Tapi kita juga harus mau realistis dengan kondisi keuangan kita sendiri.

Itulah kenapa tidak sedikit pemuda yang sebetulnya siap untuk segera menikah, namun terjegal dengan masalah keuangan. Alasan klasiknya adalah “Aisyah sudah ada, tapi maisyah belum punya”. Sebuah keprihatinan yang harus kita lihat adalah betapa banyaknya pemuda dan orang tua mereka yang lebih memprioritaskan resepsi pernikahan daripada menyegerakan pernikahan itu sendiri.

Buku ini bisa menjadi pencerahan untuk para bujang yang masih ragu untuk segera mengakhiri masa lajang. Juga menjadi jalan bagi para pemudi yang sedang menanti pinangan dari sang pangeran harapan hati.

Buku ini memang ditulis dengan harapan, agar tidak ada lagi pemuda & pemudi yang ragu kawin karena merasa miskin, gak mau nikah karena merasa susah.

VIRUS-VIRUS CINTA


Sebuah Pengingat Untuk Kader Dakwah


oleh:-Muhammad Nasridini
-Harun al Rasyid

SEBUAH DIAGNOSA
Cinta itu tidak buta karena memang tidak memiliki mata dan tidak tuli karena tidak mempunyai telinga. Cinta itu pasif dan akan aktif sesuai dengan cara manusia mengaktifkannya. Tapi jika cinta itu menjelma menjadi virus, maka akan lebih berbahaya dari berbagai virus endemik yang ada. Bahkan bukan tidak mungkin bisa lebih ganas dari virus flu burung sekalipun. Lalu bagaimana kalau virus ini menjangkiti para aktivis dakwah.
Virus cinta atau yang lebih sering disebut virus merah jambu bisa menjangkiti siapa saja, khususnya para remaja yang sadar atau tidak sering terjangkiti virus ini. Lantas, kalau aktivis dakwah yang memang juga berkesempatan untuk berinteraksi dengan lawan jenis mungkinkan kuga berkesempatan untuk mengembangkan virus tersebut di dalam hati? Apalagi aktivis dakwah yang punya jam terbang tinggi dan jadwal padat tentu akan semakin sering bersinggungan dengan lawan jenis langsung maupun tidak langsung.
Aktivis dakwah memang sungguh sering meneriakkan anti kepada pergaulan bebas, pacaran salah satunya. Tapi ironis, dibalik kerasnya teriakan mereka itu kadang membuat terlena juga. Pada suatu waktu mereka lupa diri dan sadar atau tidak, akan melanggar juga. Padahal bukankan mereka seharusnya menjadi panutan dan teladan? Bukan hanya dalam tutur kata. Tapi yang terpenting adalah amalan mereka, aksi nyata buah dari pohon ilmu yang mereka tanam dan tumbuh subur dengan rimbunnya.
Memang sangat sulit untuk menangkal virus merah jambu ini supaya tidak mewabah secara luas. Apalagi seorang aktivis dakwah yang pastinya tidak mungkin untuk lepas dari interaksi dengan lawan jenis. Efek virus merah jambu memang sangat berbahaya. Taruhannya adalah kepercayaan seorang aktivis yang nanti pada akhirnya juga akan bermasalah pada ketegasan dan keberaniannya dalam menyampaikan kebenaran.
Sangat jarang untuk menyaksikan aktivis dakwah yang nyata-nyata/terang-terangan berpacaran (setidaknya menurut pandangan penulis). Kebanyakan dari mereka memilih untuk sembunyi dari penglihatan manusia (ini dia rahasianya…..). Kalau aktivitas para ‘aktivis pacaran’ tulen tentu kita tidak sulit untuk mendapatkannya di banyak tempat di sekitar kita. Bahkan kadang ada yang nekat melakukannya di masjid. (Astaghfirullah…)

MUSIM SMS
“Akh, engkau ga’ sayang ma aku lagi karena Allah ya? Kok mahal banget to senyumnya? Nanti ga’ sholih lho!”
Beberapa waktu lalu sms tersebut membuat saya merinding, bahkan bulu kuduk ini berdiri semua. Maksudnya apa? “Astaghfirullah…..” saya pun segera beristighfar dan memohon ampunan kepada Allah Ta’ala.
Begitulah di zaman yang teknologi komunikasi semakin maju sekarang ini kita bisa terjatuh pada kemaksiatan yang sifatnya tersembunyi dari orang lain. SMS, telpon dan chating di internet adalah beberapa contoh diantaranya. Memang hubungan lewat jalur ini adalah jalan yang paling aman dari penglihatan orang lain. Jalur ini pula yang terkadang (atau bahkan sering) menjerumuskan para aktivis dakwah.
Ada juga sms lain, “Keif haluk mujahidku? Sudah sholat malam?”
Memang sekilas terlihat baik karena mengajak untuk sholat malam. Tapi perhatikan, kenapa harus menyapa dengan ‘mujahidku’ tidak ‘akhi’ saja? Saya mungkin menamakan model seperti ini dengan ‘pacaran numpang dakwah’. Tentu tidak semua aktivis dakwah seperti ini.
Fenomena di atas tentu harus diantisipasi dan dihindari oleh para aktivis dakwah remaja, bahkan idealnya oleh semua remaja. Karena (seperti yang diteriakkan oleh para aktivis) apapun bentuknya pacaran tetap HARAM. Karena pacaran adalah salah satu diantara sarana yang mendekatkan kepada zina. Disamping itu, bukan demikian cara yang diajarkan Islam dalam mencari jodoh (maaf, bukannya menggurui tapi mengingatkan, mungkin dah pada lupa)

PACARAN ISLAMI???
Khamr tetap haram walaupun meminumnya pakai basmalah terlebih dahulu. Sampai kiamat tiba, babi tetap haram meski disembelih dengan menyebut nama Allah .
Ada yang mengatakan, “Pacaran yang Islami itu …. ya ... pacaran, tapi nggak sampai terjerumus pada zina. Nggak pakai pegang-pegangan tangan, paling sms-an atau chating. Pokoknya nggak sering ketemu! Yang penting ada ikatan. Artinya, kita nggak boleh nikah sama orang lain. Tetapi berhubung belum siap ya pacaran dulu secara Islami gitu……”
Wah, wah, wah ….. pacaran Islami, berarti numpang dakwah juga dong? Sambil berdiskusi tentang strategi dakwah, saling bertausiyah, membangunkan untuk sholat tajahud dan seterusnya. Sampai akhirnya ngobrol dan ngobrol soal pribadi dan nggak nyambung lagi dengan dakwah. Para aktivis dakwah yang pernah (atau lengah) mengalami hal seperti ini hendaknya sadar dan bersegera untuk taubat kepada Allah Ta’ala. Innalloha ghofurur rohim …..
Maaf, tapi komunikasi yang seperti ini bukanlah sesuatu yang Islami. Walaupun pembicaraan atau sms diawali dengan salam dan dibumbui dengan ucapan berbahasa Arab dan istilah-istilah dakwah, tetap bernilai ilegal dan menghasilkan dosa. Ingatlah tak ada haram yang Islami. Selamanya.

OBAT PENAWAR
Sebelum keterusan, ambil stetoskop dan segera detekdi kalau ada apa-apanya di hati. Sebelum nanti berlanjut jadi lebih kronis sampai stadium empat. Kalau sudah siap, segera saja nikah. Tapi kalau belum, ada beberapa kiat agar terbebas dari VMJ :
1. Miliki imunitas
Selalu sibukkan diri dengan dzikrullah, sholat tahajud, puasa sunnah, tilawah dan sebagainya.
2. Jangan hanya aktif di pinggiran, menceburlah di pusaran
Terjun ke pusaran (apapun posisi kita) akan membuat pikiran kita terfokus, bagaimana bisa menghasilkan sesuatu yang terbaik untuk dakwah.
3. Hindari aktivitas yang tidak perlu dengan lawan jenis
Untuk menghindari terinfeksinya hati oleh virus merah jambu, seminimal mungkin hindarilah aktivitas yang tidak perlu dengan lawan jenis.
4. Jauhkan diri dari hal-hal yang membuat hasrat itu tumbuh
Nasyid-nasyid flamboyan, cerita-cerita romantis dan sebagainya mungkin perlu kita konsumsi tetapi jangan berlebihan.

PESAN KAMI
Kuncinya, kuatkan azzam tuk dekatkan diri selalu pada-Nya. Jangan sampai dakwah untuk mencari ridho Allah berubah menjadi ‘Li fulan’ atau ‘li fulanah’. Setan memang selalu berusaha mencari celah untuk memperdaya manusia. Ya, si terkutuk tersebut mempunyai lebih dari seribu satu cara untuk menggoyahkan hati kita. Namun demikian, jangan sampai kita sendirilah yang membuka celah masuknya virus-virus dari setan itu. Ingatlah, dakwah hanya digagas oleh orang-orang yang cerdas, dijalankan oleh orang-orang yang berani dan dimenangkan oleh orang-orang yang sabar.
WALLOHUL MUSTA’AN ILA IZZATIL ISLAM

Motifator :
1. Afifah Afra dalam “Teman Tapi Mesra” dan “Nikah itu tak mudah”.
2. Abu Al Ghifari dalam “Pacaran yang Islami, adakah?”
3. “Mewaspadai Virus Merah Jambu” dalam Lembar Khasanah

PLIS DONG, AKH!

Nova Ayu Maulita



“Assalamu‘alaikum, Ukhti!” suara melengking itu spontan membuatku mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.

“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”

Mulutku tercekat. Hari gini dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin tenggelam ditelan bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang bersama adik mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku mengisi mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya skandal dengan ikhwan yang satu ini.

“Iya, liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis menahan malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang sesekali tersenyum nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku sudah berubah menjadi traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent face.

Tommy adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen yang berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga. Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD, dia pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai tiba-tiba dia sudah satu jurusan, bahkan sekelas denganku di universitas. Tapi tentu saja semua sudah berubah. Paling tidak sekarang aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul dengan lawan jenis.

Tapi, entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul, bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga sudah cukup paham. Sekarang kami sama-sama bergabung di rohis fakultas. Tommy sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul bareng ikhwan-ikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitian SKI, dan juga cukup sering menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan Islamnya cukup terakreditasi. Tapi untuk masalah ‘centilnya’ ini, ah entahlah....

“Kok diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong...!” Disuruh ngomong aku malah semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer, “Ngomong dong, sayang..!” Weeit...!

“Iya, ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang kangennya sama orang rumah. Kemari... nggak jadi deh!” aku nyaris saja keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.

“Kemarin kenapa? Cerita dong... aku jadi penasaran nih.”

“Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”

“Uh... dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”

Aku cuma ngiyem mendengarnya.

“Eh, Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu di seberang. “Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.

“Itu tuh, bajunya kok nggak match ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya hijau, jilbabnya item, eh... tasnya merah. Bagusan kan kalo roknya item dan tasnya apa gitu kek, yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok kuning. Aduh...!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer sambil memukul-mukulkan telapak tangan ke jidatnya. “Payah ah, penampilannya! Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus, bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.

Aku sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang butuh komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok dia dari tadi. Hiiihhh!

“Plis dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian harusnya kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang bete. Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk, tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan bahasa-bahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.

“Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”

Aku menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke otak. Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit diramalkan endingnya.

“Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”

Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.

“Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”

Saking gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi sehelai jenggot itu. “Nggak ada, kok,” jawabku.

“Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum...!”

Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh... kena deh! Awas ya!



***



“Assalamu‘alaikum...” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.

“Waalaikum salam warahmatullah.. Sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?” Aku jadi kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!

Tommy sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan kalau dia harus mengajak seorang teman biar kami nggak ngobrol berdua. Tapi sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku juga belum bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.

“Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”

“Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku.

“Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”

Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab panjang lebar. “Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”

“Tapi aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.

“Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”

“Eh, kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir ke sini karena kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas yang aku nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di jalan. Kita kan nggak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya udah kalau nggak boleh.”

Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. “Emang mau nanya apa sih?”

Tommy nyengir. “Nah, gitu dong!”

Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.

“Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.” Tommy berusaha melucu.

Tapi bagiku yang udah bete banget jadi enggak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!

“Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya!Bu bye..”

Gleg. “Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”

“Eh, iya, afwan. Assalamu‘alaikum...”

“Alaikum salam warahmatullah.”



***



Sepertinya belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah kenapa banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga sedang jalan kaki dan tanpa sungkan-sungkan langsung mengajak ngobrol. Waktu beli makanan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di ke toko buku. Ke perpustakaan juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy juga sering sekali mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan hal-hal lain yang menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin beberapa hari cuti jadi orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi aku tidak perlu merasa begitu bosan seperti sekarang.

“Jangan-jangan kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba mengucapkan hal itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di kantin Yu Jum.

“Uhuk... uhuk... hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena tenggorokanku tercekat.

“Emangnya nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua. Kalau memang jodoh kan bisa segera...” Ika cengar-cengir melihatku.

“Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh itu rahasia Allah, dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah dipikirin pun toh kalau sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak bisa diundur dan nggak bisa dipercepat.”

“Iya, tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya menunda-nunda pernikahan.” Kali ini Ika mengedip-ngedipkan matanya centil. Membuatku serasa semakin ingin menghilang.

“Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”

“Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi... jangan-jangan dia sudah punya calon. Siapa tahu...! Inget lho, kalau sudah ketemu jodoh dan mampu, maka makruh hukumnya menunda pernikahan.” Ika kelihatan bersemangat sekali membuatku jengkel.

“Udah ah... kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.



***



Entah kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku. “Iya, jangan-jangan, jangan-jangan... oh tidak! Paling hanya aku yang ke-geer-an.

New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.

Ups, dari Tommy!

Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok. Plizz, you are my only hope =)

Ih, apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini. Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap gombal-gambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada perkataan Ika siang tadi. Jangan-jangan.... Kadang sikapnya memang suka aneh sih, suka ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok kebetulan mampir dengan alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti juga ada yang jual jus, ngapain juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini. SMS yang model begitu juga bukan barang baru lagi. Ihh.



* * *



“Hati-hati lho, Van!”

“Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.

“Hati-hati lah... sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.

“Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho...”

“O ya?” kini mataku yang terbelalak.

“Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh... witing tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia gara-gara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.

“Apalagi kalian udah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin menusukku.

“So what gitu lho...”

“Ya silakan ditafsirkan sendiri... aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin lihai lho...”

Aku manggut-manggut

“Harus bisa tegas!” tambah Evi lagi.

“Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak usah dibales gitu?”

“Iyalah... kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak usah dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah dingin!”

“O... gitu ya?”



***



Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam tiga minggu terakhir. Senangnya....

“New sms!”

Kuraih handphoneku.

Tommy!

Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?

Pliss dong, Akh!

Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.***

#Naskah ini dimuat di Annida no 02/XVI/Oktober 2006

Aktivis Jatuh Cinta



kenapa sih judulnya kok “kejem” banget?, rasanya juga bukan kali pertama judul ini diangkat… . mungkin tulisan ini adalah yang ke seratus sekian .. tetapi yang ke sekian tersebut tidak membuat tema ini basi untuk diangkat. bagaimanapun juga, aktivis bukanlah robot yang tidak punya hati, aktivis juga manusia…. :D

Tema Cinta takkan pernah lekang lagi basi dibahas seiring berjalannya waktu. Tanpa Cinta Dunia jadi Garing lagi Gersang :P seorang akan berani mengorbankan Harta, Jiwa dan Raga demi Cinta (ceileeee). Rela sehidup semati juga demi Cinta. :P cerita Romeo-Juliet (bener ga yaa??) yang rela mati bareng juga mengatasnamakan Cinta. Mush’ab bin Umair yang sampai kedua tangan dan kaki beliau terpotong, bahkan leher juga terpotong dalam medan Uhud juga mengatas namakan Cinta. Dengan cinta ini pula seorang manusia yang sangat kasar lagi beringas perangainya akan menjadi lembut dan penurut terhadap manusia yang di cintainya ibarat kerbau yang sudah dicocok hidungnya.

seiring dengan berubahnya kondisi manusia dari jaman kegelapan (baca : jahiliyah), menuju zaman penuh hidayah (kaya’ mau memberi pidato sambutan aza… :( maka seorang muslim akan mengalihkan perhatiannya kepada sesama “aktivis”. jika dulu ketika masih jahiliyah, suka cuci mata memandang lain jenis yang lewat dengan seabrek celotehannya “suit..suit,” “cewe’ godain kita donk”, dan sejenisnya.

ketika sudah “berhijrah” maka ketika berpasasan dengan “cewe” akan dengan serta merta menundukkan pandangan tanpa menoleh sedikitpun, mirip sedang mencari uang receh yang terjatuh :) bahkan ada cerita gara-gara menundukkan pandangan ini hampir saja seorang ikhwan tertabrak motor yang dikendarai seorang akhwat. gubraks….. untungnya motornya masih punya mata :P

lain lagi ceritanya ketika bertemu (baca : berpapasan) dengan akhwat, maka tetap dengan menundukkan pandangan dengan sambil sedikit melirik ke arah akhwat tersebut. gubraks lagi…… kalau tidak dengan melirik maka pandangannya akan terarahkan ke bagaian bawah….. hehehe… ada ada aja, yang demikian.

Virus Cinta (VMJ, Virus Merah Jambu), tak akan pandang bulu menyerang manusia. baik manusia umum ataupun manusia “khusus”, dengan identitas jilbaber dan jenggoter. lha kalau VMJ menyerang manusia “umum” itu sudah biasa dan sudah menjadi menu kesehariannya. tetapi jika yang terjangkiti para jilbaber dan jenggoter, ini baru butuh perhatian khusus dan lebih seksama. bisa-bisa Cinta yang harusnya Untuk Allah dan Rasulnya melenceng sasaran menuju pada manusia yang “indah di bayang”. bisa jadi para jenggoter akan berubah menjadi “petarung” tak kenal lelah banting tulang 24 jam untuk da’wah gara-gara sudah ada VMJ yang “nangkring” dalam hatinya yaitu terhadap salah seorang jilbaber. Semangat Men!! Uihhhh jadi salah niat ini…

“Witing Tresno Jalaran Soko Kulino“. pepatah jawa yang perlu diacungi jempol gara gara sering terbukti. interaksi yang terjadi antara ikhwan dan akhwat yang keseringan akan memunculkan benih benih VMJ. tidak peduli bagaimana rupa dan fisiknya. mendengar suaranya yang merdu mendayu-dayu seakan meluluh lantakkan tebing kokoh menjulang (hehehe). maksudnya meluluh lantakkan pertahanan hati seorang muslim. maka dari itu Suara, suara dan suara akhwat yang musti dijaga.

interaksi antara ikhwan dan akhwat khususnya di wilayah kampus yang belakangan mulai terasa lebih longgar perlu mendapat perhatian yang lebih seksama. terkadang mengatasnamakan koordinasi dengan DIVA (DIVisi Akhwat) menjadikan jalan berinteraksi yang lebih antar dua makhluk berbeda “jenis” tersebut. ini menjadi jalan tol bagi syetan untuk menanamkan benih-benih VMJ ke dalam sanubari para Jenggoter.

terlebih lagi ketika mengadakan acara di luar kampus dengan bersamaan, dengan safar ke tempat yang lebih sejuk untuk mengadakan Islamic Management Training atas nama Lembaga Kemahasiswaan semakin memperlicin jalan syetan. Jika ikhwan sedang melakukan Games2 Management atau Leadership rasanya semangat akan menjadi berlipat 100 kali jika ada “penonton” yang sudah mengisi bagian di relung hatinya. jatuh saat bergelantungan memainkan games tak dirasa “Ah ga’ sakit kok ntar juga cepet sembuh” wahwahwah…… bener-bener CBSA niii CBSA = Cinta Bersemi Saat Aktif

wabah berbahaya sedang menjangkiti!. mereka yang dalam dlohir antipati dengan kasus “pacaran” tetapi tak pernah luput juga dengan pertemuan mengatasnamakan Koordinasi. (hus jangan su’udzan!!). mengirim sms tausiyah agar bangun sholat malam “ukhti bangun, mari kembali bertemu dengan Allah, menyemai cinta padaNya”, agar sabar dan tabah menjalani jalan perjuangan, “Tetap istiqomah, Ukhti… Selamat berjuang. Semoga Allah menyertai anti”. Sms ucapan selamat atas Haulnya “Ukhti, Selamat hari lahir. Semoga hari-hari yang dijalani lebih memberi arti”. (wahwahwah kok sampai tau hari lahirnya juga ya??) atau hanya sebatas sms mengabarkan kondisi yang sedang dijalaninya “Ana lagi di bundaran HI, Ukhti. Doakan kami bisa memperjuangkan ini”. Kok ya sempat sempatnya ngirim sms hihihi. (buat dia apa sih yang ga sempat??) :D

waduh kalo’ seorang Akhwat dikirimi sms beginian awalnya mungkin akan menganggap hal biasa tetapi jika setiap ada kesempatan HPnya selalu berbunyi dan isinya seperti itu bisa-bisa jadi kembang kempis juga hidungnya plus memerah menahan segudang perasaan tak menentu :D serasa suasana jadi hangat, jantung berdegup lebih kencang, membuat perasaan berbunga bunga (emang taman bunga??) sms dari ikhwan euy…

Kalo sudah begini mah semua jadi berubah. rasa asin dan asem aja jadi manis. jalan panjang perjuangan seakan terasa sesaat dan singkat karena ada manusia yang di bayang, yang kelak jadi teman hidup hihihi (kok sudah menjustifikasi, ini hanya do’a aja…). Astaghfirullah.

jika sudah begini doa yang tak lupa senantiasa mengalun pelan pun menjadi komsumsi :

“Ya Tuhan, kalau dia memang jodohku, dekatkanlah… Tapi kalau bukan jodohku, Jodohkanlah…. Jika dia tidak berjodoh denganku, maka madikanlah kami jodoh… Kalau dia bukan jodohku, jangan sampai dia dapet jodoh yang lain, selain aku…

” Ya Tuhan, kalau dia tidak bisa di jodohkan denganku, jangan sampai ia dapet jodoh yang lain, biarkan dia tidak berjodoh sama seperti diriku… Dan saat dia telah tidak memiliki jodoh, jodohkanlah kami kembali…

” Ya Tuhan, kalau dia jodoh orang lain, putuskanlah! Jodohkanlah denganku…. Jika dia tetap menjadi jodoh orang lain, biar orang lain itu ketemu jodoh dengan yang lain dan
kemudian Jodohkan kembali dia dengan ku …

*NB doanya : Maafkan hamba-Mu karna telah
memojokkan-Mu ya Tuhan, habis
bagaimana lagi, hamba-Mu ini sudah kepepet!!!!!! :D
lah kalo’ do’a ini lebih baik:

“Yaa Allah jika kami “bertemu” akan semakin taat kepadaMu maka pertemukanlah aku dengan dia, tetapi jika dengan pertemuan itu kami semakijauh dariMu maka pisahkanlah kami berdua dan pertemukan masing-masing dari kami dengan pasangannya yang akan membuat masing-masing semakin taat padaMu”.

hehehe… sebuah renungan bagi kita bersama. semoga menjadi bahan koreksi

* : diambil dari kumpulan kisah-kasih aktivis, dan dari berbagai sumber

Ketika Ikhwah Jatuh Cinta





Suatu ketika, dalam majelis koordinasi seorang akhwat berkata pada mas’ul dakwahnya, “akhi, ana ga bisa lagi berinteraksi dengan akh fulan”. Suara akhwat itu bergetar. Nyata sekali menekan perasaannya.”Pekan lalu, ikhwan tersebut membuat pengakuan yang membuat ana merasa risi dan….Afwan, terus terang juga tersinggung.” Sesaat kemudian suara dibalik hijab itu mengatakan….ia jatuh cinta pada ana.”

mas’ul tersebut terkejut, tapi ditekannya getar suaranya. Ia berusaha tetap tenang. “Sabar ukhti, jangan terlalu diambil hati. Mungkin maksudnya tidak seperti yang anti bayangkan.” Sang mas’ul mencoba menenangkan terutama untuk dirinya sendiri.

“Afwan…ana tidak menangkap maksud lain dari perkataannya. Ikhwan itu mungkin tidak pernah berpikir dampak perkataannya. Kata-kata itu membuat ana sedikit banyak merasa gagal menjaga hijab ana, gagal menjaga komitmen dan menjadi penyebab fitnah. Padahal, ana hanya berusaha menjadi bagian dari perputaran dakwah ini.” sang akhwat kini mulai tersedak terbata.

“Ya sudah…Ana berharap anti tetap istiqamah dengan kenyataan ini, ana tidak ingin kehilangan tim dakwah oleh permasalahan seperti ini”. Mas’ul itu membuat keputusan, “ana akan ajak bicara langsung akh fulan”

Beberapa Waktu berlalu, ketika akhirnya mas’ul tersebut mendatangi fulan yang bersangkutan. Sang Akh berkata, “Ana memang menyatakan hal tersebut, tapi apakah itu suatu kesalahan?”

Sang mas’ul berusaha menanggapinya searif mungkin. “Ana tidak menyalahkan perasaan antum. Kita semua berhak memiliki perasaan itu. Pertanyaan ana adalah, apakah antum sudah siap ketika menyatakan perasaan itu. Apakah antum mengatakannya dengan orientasi bersih yang menjamin hak-hak saudari antum. Hak perasaan dan hak pembinaannya. Apakah antum menyampaikan kepada pembina antum untuk diseriuskan?. Apakah antum sudah siap berkeluarga. Apakah antum sudah berusaha menjaga kemungkinan fitnah dari pernyataan antum, baik terhadap ikhwah lain maupun terhadap dakwah????” Mas’ul tersebut membuat penekanan substansial. ” Akhi bagi kita perasaan itu tidak semurah tayangan sinetron atau bacaan picisan dalam novel-novel. Bagi kita perasaan itu adalah bagian dari kemuliaan yang Allah tetapkan untuk pejuang dakwah. Perasaan itulah yang melandasi ekspansi dakwah dan jaminan kemuliaan Allah SWT. Perasaan itulah yang mengeksiskan kita dengan beban berat amanah ini. Maka Jagalah perasaan itu tetap suci dan mensucikan.”

Cinta Aktivis Dakwah
Bagaimana ketika perasaan itu hadir. Bukankah ia datang tanpa pernah diundang dan dikehendaki?
Jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukanlah perkara sederhana. Dalam konteks dakwah, jatuh cinta adalah gerbang ekspansi pergerakan. Dalam konteks pembinaan, jatuh cinta adalah naik marhalah pembinaan. Dalam konteks keimanan, jatuh cinta adalah bukti ketundukan kepada sunnah Rosullulah saw dan jalan meraih ridho Allah SWT.

Ketika aktivis dakwah jatuh cinta, maka tuntas sudah urusan prioritas cinta. Jelas, Allah, Rosullah dan jihad fii sabilillah adalah yang utama. Jika ia ada dalam keadaan tersebut, maka berkahlah perasaannya, berkahlah cintanya dan berkahlah amal yang terwujud dalam cinta tersebut. Jika jatuh cintanya tidak dalam kerangka tersebut, maka cinta menjelma menjadi fitnah baginya, fitnah bagi ummat, dan fitnah bagi dakwah. Karenannya jatuh cinta bagi aktivis dakwah bukan perkara sederhana.

Ketika Ikhwan mulai bergetar hatinya terhadap akhwat dan demikian sebaliknya. Ketika itulah cinta ‘lain’ muncul dalam dirinya. Cinta inilah yang akan kita bahas disini. Yaitu sebuah karunia dari kelembutan hati dan perasaan manusia. Suatu karunia Allah yang membutuhkan bingkai yg jelas. Sebab terlalu banyak pengagung cinta ini yang kemudian menjadi hamba yang tersesat. Bagi aktivis dakwah, cinta lawan jenis adalah perasaan yang lahir dari tuntutan fitrah, tidak lepas dari kerangka pembinaan dan dakwah. Suatu perasaan produktif yang dengan indah dikemukakan oleh ibunda kartini,” …akan lebih banyak lagi yang dapat saya kerjakan untuk bangsa ini, bila saya ada disamping laki-laki yg cakap, lebih banyak kata saya…..daripada yang saya usahakan sebagai perempuan yg berdiri sendiri..”

Cinta memiliki 2 mata pedang. Satu sisinya adalah rahmat dengan jaminan kesempurnaan agama dan disisi lainnya adalah gerbang fitnah dan kehidupan yg sengsara. Karenanya jatuh cinta membutuhkan kesiapan dan persiapan. Bagi setiap aktivis dakwah, bertanyalah dahulu kepada diri sendiri, sudah siapkah jatuh cinta???jangan sampai kita lupa, bahwa segala sesuatu yang melingkupi diri kita, perkataan, perbuatan, maupun perasaan adalah bagian dari deklarasi nilai diri sebagai generasi dakwah. Sehingga umat selalu mendapatkan satu hal dari apapun pentas kehidupan kita, yaitu kemuliaan Islam dan kemuliaan kita karena memuliakan Islam.

Deklarasi Cinta
Sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mendeklarasikan cinta diatas koridor yang bersih. Jika proses dan seruan dakwah senantiasa mengusung pembenahan kepribadiaan manusia, maka layaklah kita tempatkan tema cinta dalam tempat utama. Kita sadari kerusakan prilaku generasi hari ini, sebagian besar dilandasi oleh salah tafsir tentang cinta. Terlalu banyak penyimpangan terjadi, karena cinta didewakan dan dijadikan kewajaran melakukan pelanggaran. Dan tema tayangan pun mendeklarasikan cinta yang dangkal. Hanya ada cinta untuk sebuah persaingan, sengketa. Sementara cinta untuk sebuah kemuliaan, kerja keras dan pengorbanan, serta jembatan jalan kesurga dan kemuliaan Allah, tidak pernah mendapat tempat disana.

Sudah cukup banyak pentas kejujuran kita lakukan. Sudah terbilang jumlah pengakuan keutamaan kita, sebuah dakwah yang kita gagas, Sudah banyak potret keluarga yg baru dalam masyarakat yg kita tampilkan. Namun berapa banyak deklarasi cinta yang sudah kita nyatakan. Cinta masih menjadi topik ‘asing’ dalam dakwah kita. Wajah, warna, ekspresi dan nuansa cinta kita masih terkesan ‘misteri. Pertanyaan sederhana, “Gimana sih, kok kamu bisa nikah sama dia, Emang kamu cinta sama dia?”, dapat kita jadikan indikator miskinnya kita mengkampanyekan cinta suci dalam dakwah ini.

Pernyataan ‘Nikah dulu baru pacaran’ masih menjadi jargon yang menyimpan pertanyaan misteri, “Bagaimana caranya, emang bisa?”. Sangat sulit bagi masyarakat kita untuk mencerna dan memahami logika jargon tersebut. Terutama karena konsumsi informasi media tayangan, bacaan, diskusi dan interaksi umum, sama sekali bertolak belakang dengan jargon tersebut.

Inilah salah satu alasan penting dan mendesak untuk mengkampanyekan cinta dengan wujud yang baru. Cinta yang lahir sebagai bagian dari penyempurnaan status hamba. Cinta yang diberkahi karena taat kepada sang Penguasa. Cinta yang diberkahi karena taat pada sang penguasa. Cinta yang menjaga diri dari penyimpangan, penyelewengan dan perbuatan ingkar terhadap nikmat Allah yang banyak. Cinta yang berorientasi bukan sekedar jalan berdua, makan, nonton dan seabrek romantika yang berdiri diatas pengkhianatan terhadap nikmat, rezki, dan amanah yang Allah berikan kepada kita.

Kita ingin lebih dalam menjabarkan kepada masyarakat tentang cinta ini. Sehingga masyarakat tidak hanya mendapatkan hasil akhir keluarga dakwah. Biarkan mereka paham tentang perasaan seorang ikhwan terhadap akhwat, tentang perhatian seorang akhwat pada ikhwan, tentang cinta ikhwan-akhwat, tentang romantika ikhwan-akhwat dan tentang landasan kemana cinta itu bermuara. Inilah agenda topik yang harus lebih banyak dibuka dan dibentangkan. Dikenalkan kepada masyarakat berikut mekanisme yang menyertainya. Paling tidak gambaran besar yang menyeluruh dapat dinikmati oleh masyarakat, sehingga mereka bisa mengerti bagaimana proses panjang yang menghasilkan potret keluarga dakwah hari ini.

Epilog
Setiap kita yang mengaku putra-putri Islam, setiap kita yg berjanji dalam kafilah dakwah, setiap kita yang mengikrarkan Allahu Ghoyatuna, maka jatuh cinta dipandang sebagai jalan jihad yang menghantarkan diri kepada cita-cita tertinggi, syahid fi sabililah. Inilah perasaan yang istimewa. Perasaan yang menempatkan kita satu tahap lebih maju. Dengan perasaan ini, kita mengambil jaminan kemuliaan yang ditetapkan Rosullulah. Dengan perasaan ini kita memperluas ruang dakwah kita. Dengan perasaan ini kita naik marhalah dalam dakwah dan pembinaan.

Betapa Allah sangat memuliakan perasaan cinta orang-orang beriman ini. Dengan cinta itu mereka berpadu dalam dakwah. Dengan cinta itu mereka saling tolong menolong dalam kebaikan, dengan cinta itu juga mereka menghiasi Bumi dan kehidupan di atasnya. Dengan itu semua Allah berkahi nikmat itu dengan lahirnya anak-anak shaleh yang memberatkan Bumi dengan kalimat Laa Illaha Ilallah. Inilah potret cinta yang sakinah, mawaddh, warahmah.
jadi…sudah berani jatuh cinta…??
wallahu’alam

diambil dari majalah al izzah edisi 11/th4/jan 2005 M

Ketika Amanah Dimaknai Sebagai Karir Da'wah




Di suatu hari yang cerah, beberapa akhwat duduk melingkar dan mereka
membicarakan banyak hal, salah satunya adalah tentang da'wah kampus.
Seorang akhwat berkata, "Eh, si fulan karir da'wahnya sedang naik nih.
" Ternyata berita seorang ikhwan yang baru diamanahi sebagai ketua
rohis fakultas di sebuah universitas, terdengar juga di telinga
akhwat-akhwat ini. Kemudian mereka membicarakan pula teman-teman lain
yang karir da'wahnya sedang menanjak. Hm...Karir Da'wah?

Di tempat lainnya, seorang aktifis sedikit mengeluh, "Masa gua lagi…
gua lagi..yang ngerjain beginian, lah kapan gua naik pangkatnya..." Ia
enggan mengerjakan tugas yang baginya tidak layak dikerjakan oleh ia
yang sudah seharusnya menjabat posisi tertentu.

Seorang aktifis murung, wajahnya meredup kala mengetahui bahwa dirinya
tidak tercantum sebagai calon ketua keputrian rohis, padahal ia sangat
yakin dirinya akan masuk nominasi. Ia mengeluh kian kemari, dan tidak
habis pikir mengapa dirinya tidak masuk, apatah lagi nominasi lainnya
jelas-jelas belum berhijab. Dan ia sibuk mencari pembenaran. Kecewa,
ia merasa dirinya lebih pantas dari yang lain.

Karir Da'wah dan Kesiapan Pemahaman
Di dalam Buku "Manajemen Sumber Daya Manusia 2" oleh Garry Dessler,
Career atau Karir diartikan sebagai seluruh jabatan yang didapatkan
seseorang selama hidupnya. Dan Career Path atau Jenjang Karir adalah
serangkaian pola dari pekerjaan-pekerjaan yang membentuk karir
seseorang. Karir membutuhkan perencanaan, yang mana seharusnya sebuah
organisasi memberi peluang kemajuan karir kepada anggotanya.

Sedang makna Da'wah adalah menyeru manusia kepada Al Haq, menyeru
manusia kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Di dalam
da'wah, ada nilai-nilai yang harus diemban, yaitu keikhlasan,
keteladanan, lemah lembut dalam menyuruh dan melarang, mengerti apa
yang harus dilakukan dan adil terhadap apa yang harus dilarang. Da'wah
dilakukan hanya karena Allah dan sang pengemban da'wah tidak meminta
imbalan kepada siapapun kecuali imbalan dari Allah SWT. Tanpa
orientasi "Allahu Ghayatuna" ini, maka rusaklah da'wah yang diserukan,
sia-sia sajalah apa yang sang da'i usahakan.

Di dalam organisasi da'wah, memang ada konsep fase-fase Da'wah
Fardiyah untuk membentuk seorang kader. Fase yang pertama adalah
tsiqoh, fase kedua menyatu dengan da'wah, dan ketiga adalah bergerak
bersama da'wah. Namun yang sering terjadi adalah lompatan fase akibat
mengejar target jumlah kader, yaitu dari fase pertama melompat ke fase
ketiga. Di mana saat fase ketiga ini, seseorang diajak bergerak
bersama dalam da'wah, dalam kepanitiaan atau kepengurusan misalnya.
Akhirnya timbullah gerak tanpa ruh, gerak tanpa diiringi pemahaman
mendalam tentang esensi da'wah. Hingga muncullah kader-kader yang
menganggap amanah kepemimpinan sebagai wujud keistimewaan, amanah
sebagai wujud karir.

Ketika seseorang bergabung dalam organisasi da'wah maka seharusnya
orientasinya bukanlah duniawi, tetapi ukhrawi. Ada cita-cita bersama
dalam jamaah. Sebuah organisasi memang menjadi tempat untuk menggali
potensi diri. Di dalam organisasi, kita dapat berlatih dinamika
kelompok. Di dalam organisasi, kita sparring dengan dunia kampus.
Namun organisasi da'wah berbeda dengan organisasi lain karena
organisasi da'wah menggelar acara dengan tujuan berda'wah, karena
Allah. Dan ketika seseorang yang belum memiliki pemahaman yang benar
tentang da'wah diserahi amanah sebagai pemimpin misalnya, yang terjadi
adalah terselenggaranya acara tanpa diiringi ruh da'wah, yang terjadi
adalah kader-kader yang berorientasi hasil dan bukan proses. "Ane
merasa menjadi sapi perah di organisasi ini…" Demikian keluhan seorang
ikhwan yang notabene seorang kader senior.

Hakekat Amanah
Berikut ini adalah hal-hal yang harus dipahami ketika seseorang
memiliki amanah:

1. Amanah = Tanggung Jawab.
Di dalam Islam, sebuah amanah kelak harus dipertanggungjawabkan di
hadapan-Nya. Ketika Allah menawarkan amanah kepada langit, bumi, dan
gunung-gunung, tak ada yang mau menerimanya kecuali manusia. Dan
adalah manusia itu sangat zalim dan bodoh. "Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya
manusia itu amat zalim dan amat bodoh." (QS.34:71)

2. Jangan Merasa Berbeda
Seorang senior akhwat menegur juniornya yang tengah sibuk membuat
mading masjid. Ia berkata, "Dek, tidak seharusnya kamu mengerjakan
ini, teman-teman yang lain kan bisa melakukannya." Sang senior
beranggapan bahwa hal remeh temeh tidak seharusnya dilakukan oleh sang
junior yang menjabat sebagai ketua keputrian rohis. Sang junior
menatap seniornya, terdiam sebentar dan kembali melanjutkan
pekerjaannya. Ia sangat tidak setuju dengan pendapat seniornya karena
ia teringat Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam saat memerintahkan
untuk menyembelih seekor domba. Seseorang berkata, "Akulah yang akan
menyembelihnya", yang lain berkata "Akulah yang akan mengulitinya",
Lalu Beliau bersabda, "Akulah yang akan mengumpulkan kayu bakarnya."
Mereka berkata, "Kami akan mencukupkan bagi engkau." Beliau bersabda,
"Aku sudah tahu kalian akan mencukupkan bagiku. Tapi aku tidak suka
berbeda dari kalian. Sesungguhnya Allah tidak menyukai hamba-Nya yang
berbeda di tengah-tengah rekannya."

3. Besarnya Amanah Bukanlah Indikasi `Lebih Baik'
Orang-orang terdahulu sangat memahami hakikat amanah sehingga mereka
tidak memandangnya sebagai kelebihan, justru sebagai sebuah beban.
Sebagaimana pidato Umar bin Abdul Aziz saat naik ke podium negara
untuk pertama kalinya, "Ketahuilah bahwa aku bukanlah orang yang
terbaik di antara kamu. Akan tetapi,aku hanyalah seorang laki-laki
seperti kamu semua. Namun Allah telah menjadikan aku sebagai orang
yang paling berat bebannya di antara kamu. "

4. Membumi Bersama Anggota
Pemimpin dalam Islam, bukan sekedar memerintah tetapi juga terjun
langsung bersama anggotanya. Ini bukan berarti sang pemimpin tidak
memiliki kafaah pendelegasian tugas, namun karena selayaknya seorang
pemimpin memberikan teladan dan melayani. Hal ini sebagaimana
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam tunjukkan keteladanan itu
ketika Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam membangun masjid Nabawi
di Madinah bersama para sahabatnya. Beliau tidak hanya menyuruh dan
mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung
mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa
batu bata dari tempatnya ke lokasi pembangunan.

3. Berendah Hatilah
Sesungguhnya kita harus senantiasa berendah hati dan berlemah lembut
terhadap orang-orang yang beriman. Memiliki jabatan bukan berarti
angkuh di atas singgasana dan hanya memberi instruksi. Lihatlah Umar
bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang datang ke sebuah pasar untuk
mengetahui langsung keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan
penampilan biasa, bahkan sangat sederhana sehingga ada yang menduga
kalau ia seorang kuli panggul lalu orang itupun menyuruhnya untuk
membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar membawakan barang
orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan upah.
Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan `Amirul
Mu'minin' sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya
menjadi memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa
barangnya. Setelah ia tahu bahwa yang disuruhnya adalah seorang
khalifah, iapun meminta maaf, namun Umar merasa hal itu bukanlah suatu
kesalahan.

4. Jangan Karena Ambisi
Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam berkata kepada Abdurrahman bin
Samurah, "Janganlah engkau menuntut suatu jabatan. Sesungguhnya jika
diberi karena ambisimu maka kamu akan menanggung seluruh bebannya.
Tetapi jika ditugaskan tanpa ambisimu maka kamu akan ditolong
mengatasinya."(HR.Bukhari dan Muslim)

Namun bukan berarti pula kita tidak boleh menerima amanah. Rasulullah
Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Barangsiapa yang diserahi
kekuasaan urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum
lemah dan orang-orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan
mengindahkannya pada hari kiamat."(HR. Ahmad).

Atau seperti ucapan Nabi Yusuf di Surat Yusuf ayat 55, "Berkata Yusuf,
Jadikankah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah
orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan." (QS.12:55)

Khatimah
Organisasi da'wah tentu memiliki struktur dan itu hanya untuk
memudahkan kinerja, maka hendaknya kita tidak memandang istimewa
seseorang dari jabatannya, tetapi dari ketaqwaannya.

Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda, "Sesungguhnya Allah
Ta'ala tidak memandang postur tubuhmu dan tidak pula pada kedudukanmu
maupun harta kekayaanmu, tetapi Allah memandang pada hatimu.
Barangsiapa memiliki hati yang shaleh maka Allah menyukainya. Bani
Adam yang paling dicintai Allah ialah yang paling bertaqwa." (HR.
Muslim).

Setelah memahami apa dan bagaimana amanah, maka tidak selayaknya
seorang kader memandang mulia orang yang besar amanahnya dan memandang
rendah dirinya hanya karena amanahnya tidak besar. Tidak selayaknya
pula seorang aktifis merangkai jenjang karir berupa karir da'wah dan
menghitung-hitung untung rugi, karena sesungguhnya Allah tidak menilai
besar kecilnya amanah, Allah tidak menilai tinggi rendahnya jabatan,
tetapi Allah menilai kesungguhan dan keikhlasan kita. Biarlah Allah
saja yang membalas da'wah kita ini, dan katakanlah sebagaimana para
nabi telah berkata, "Sesungguhnya aku tidak meminta upah kepadamu atas
seruanku ini, upahku hanyalah dari Allah, Tuhan Semesta Alam."
Wallahu'alam. File from MyQur'an

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda