
New Jakarta, Oktober 2016. dengan langkah agak tergesa, kumasuki lift kampusku. Si Bungsu Umar yang baru saja masuk TQ sempat membuatku agak kerepotan, ia agak rewel tadi. Maklum, ini hari pertamanya masuk sekolah. Alhamdulilah, Ukhti Ida dan krunya sangat profesional menangani anak-anak. Akhirnya Umair bisa tersenyum dengan puzzle barunya pemberian Ukhti Ida, dan itu berarti aku tenang meniggalkannya.
Kutengok jadwal kuliahku hari ini. Pfff…mata kuliah Psikologi Klinis kali ini diisi oleh dosen tamu dari Australia, eitt..siapa namanya? O, iya DR. Fania A Rossati, SKM.,MPH. khabarnya ia seorang feminis!
“Hmmm…jadi pengin tahu…”desisku.
“Hah…apa Mbak! Ngomong apa?” Tanya Yuni yang kebetulan ada disebelahku. Aku tersenyum sambil menggeleng.
“Nggak…, katanya ibu Fania ini seorang feminis ya? Aku jadi kepingin tahu pemikirannya…,” kataku padanya. Yuni tertawa.
“Ck..kamu Mbak…, kalau dengar kata-kata feminis. Langsung bereaksi!” seloroh Yuni. “Awas…jangan debat di ruang kelas lho Mbak…” pesan Yuni.
“Lho memangnya tidak boleh? Suka-suka dong…” celetukku.
“Hmmm.. dasar Mbak!!” Yuni mendorong bahuku gemas. Aku tertawa lirih.
“Ssssttt.. tuh dosennya datang,” bisik seseorang disebelahku. Aku dan Yuni terdiam.
Seorang wanita seumur denganku, memasuki ruang kuliah. Rambutnya sebatas tergerai bahu, hitam, lebat dan tampak terawat. Bajunya yang berwarna coklat tanah sangat kontras dengan kulitnya yang putih. Roknya beberapa senti di atas betis. Rapi dan sangat gaya. Aku tersenyum simpul.
Tapi senyumku kemudian berubah menjadi lolongan keheranan, ketika DR. Fania A Rossati membuka kacamata hitamnya yang lebar. Seorang dengan raut wajah yang sangat kukenal kini sibuk menyalakan OHP.
“Masya Allah…Fafa…” bisikku tanpa sadar. Yuni menatapku keheranan.
“Apa Mbak…? Fafa? Mbak Nur kenal dengan ibu itu? Tanya Yuni.
“Sepertinya…tapi…,” kataku ragu-ragu. “Sebentar Yun.. oh. Subhanallah…iya! Dia Fafa…, teman es-em-a ku dulu…, Astagfirullah….bukan main, ck! Kataku. Yuni cuma manatapku dan DR Fania berganti-ganti. Ia kebingungan. Persis seperti aku.
“Good morning Class, today I want to introduce you about Dyslexia ....,” DR Fania memulai kuliahnya. Aku tidak bisa berkonsentrasi lagi. Mau tidak mau ingatanku melayang kembali ke masa ES-EM-A ku dulu, tujuh belas tahun yang lalu.
“Janji ya Ukhti.., kalau pulang dari Australia nanti tidak ada yang berubah…, “ kataku sambil menatap mata Fafa yang basah lah air mata.
“Insya Allah…, kita sama-sama jihad. Anti di Indonesia dan ana di Australia…” balas Fafa sambil memelukku.
Waktu itu rambut Fafa yang hitam legam, masih tertutup rapat dengan jilbab putih seragam sekolah kami. Dengan berat hati, aku melepas Fafa, yang akan melanjutkan studinya di Melbourne, Australia, mengikuti papanya yang diplomat itu.
Saat itu aku menangis karena khawatir. Kalau-kalau suasana Melbourne akan membuat komitmennya terhadap Islam luntur. Dan sekarang… ternyata kekhawatiranku itu terbukti! Astagfirullah…
“So…, I want t repeat the definition of dyslexia. Would you….Miss eemmmm, Maria Nur Zakaria..”
Mendengar namaku dipanggil, aku tersentak kaget. Benar-benar gelagapan! Alhamdulillah, Yuni menyorongkan catatanya kehidungku.
“eeemm …, Dyslexia means difficulty reading for any reason, the problem seems to lie in a part of the brain that acts an auditory relay station..”
“Okay .. tahnk you! Would you mind if you see me after this class?! Tanya DR. Fania sambil menatapku tajam. Aku membalas tatapannya. Kulihat ada yang berkaca-kaca di mata coklat DR Fania. Aku pun mengangguk kuat-kuat. Ya..rabbi, Bantu saya membawanya kembali ke jalan-Mu.
Kutengok arlojiku. Hampir seperempat jam aku menunggu Fafa di Cafetaria ini. Alhamdulillah, Aku diijinkan suamiku untuk pulang agak terlambat ketika kutelepon tadi. Yah…meski dengan begitu aku harus membiarkan suamiku menggantikan aku menjemput anak-anak. Padahal menjemput anak-anak adalah salah satu pekerjaan favoritku. Mendengarkan berceloteh tentang pengalaman masing-masing disekolah selalu membuatku bergairah.
“Tidak kusangka kita bisa bertemu disini Nur…,” sebuah sapaan membuyarkan lamunanku tentang anak-anak. Aku tersenyum sambil mempersilakan Fafa duduk dihadapanku.
“Assalamu’alaikum…apa kabar Ukhti…? Kataku perlahan. Fafa tercenung, ia idak menjawab salamku. Ya, Allah sudah sedemikian jauhkah ia? Bisikku dalam hati.
Setelah beberapa saat hening menyelimuti kami berdua. Tiba-tiba aku dan Fafa sama-sama menggerakkan mulut untuk ngomong. Akhirnya tawa kami berderai…
“Kamu duluan deh… yang ngomong,” kataku. Aku sengaja berkamu-kamu biar Fafa tidak kaku seperti tadi. Tampaknya ada yang membuatnya enggan dengan panggilan ukhti.
“Aku heran,… setahuku kamu kan kuliah di Fakultas Psikologi. Jadi mahasiswa lagi..?! Berondong Fafa. Aku Cuma tersenyum.
“Ceritanya panjang Fa… ngomong-ngomong anakmu berapa sekarang? Tanyaku. Fafa terdiam, ia tertunduk sambil mengaduk-aduk soft drink-nya.
“Tidak satu pun,” jawab Fafa. Ia terlihat lega setelah mengucapkan itu. Aku melengak. Kutatap Fafa yang masih sibuk dengan soft drink-nya. Ya Rabbi… ia benar-banar telah berubah.
“Kamu tidak menikah? Tanyaku.
“Pernah…” jawabnya santai
“Maksudmu…, cerai?”
“Begitulah…”
“Fafa… kamu berubah banyak,” kataku mirip keluhan. Fafa menghela napas panjang. Senyumnya dipaksakan.
“Sudahlah…sekarang giliranmu. Anakmu berapa sekarang. Suamimu, dan apa kasibukanmu. Oya, jangan lupa gimana kamu bisa jadi mahasiswa di sini, kamu nggak lulus ya, di Fakultas Teknik…?” Fafa memberondong pertanyaan.
“Hei….hei…hei… satu-satu dooong…” kataku.
“Dengar baik-baik dosenku yang cantik…, anakku lima orang!” Kataku sambil menunjukkan jariku. Fafa terbelalak
“Banyak amat…?!” Protesnya. Aku tergelak.
“Yang sulung umurnya sepuluh tahun, kelas enam SD. Yang bungsu tiga setengah tahun, baru masuk Taman Qur’an…Mereka manis-manis dan pintar…nih fotonya,” kataku sambil menunjukkan foto keluargaku. Fafa menatap foto itu lekat.
“Ya, manis dan pintar seperti ibunya. Ini suamimu? Tanya Fafa. Aku mengangguk. “Kau bahagia sekali Nur…”
“Alhamdulillah …, hadza min fadhli Robbii…, sahutku. Fafa menatapku. Matanya berkaca-kaca. Kuraih tangan Fafa, kugenggam erat-erat seperti memberinya kekuatan. Fafa menghela napas dalam-dalam.
“So…, how do yoe get here? In this university?! Tanya Fafa.
“Ya .. aku memang sengaja mendaftar,” kataku. “Setelah lulus Fakultas Teknik, aku merasa aku masih membutuhkan ilmu lain untuk mendidik anak-anakku. Dan kebetulan aku tertarik pada psikologi…, so, here I am…”
“Suamimu tidak melarang???! Tanay aFafa keheranan.
“Pada mulanya sih iya…, tapi setelah kupaparkan rencanaku padanya, ia tak punya alasan untuk menolak proposalku untuk kuliah lagi…, “kataku sambil tersenyum lebar. Mata Fafa terbelalak.
“Proposal? Tanyanya.
“Ya! Aku membuat proposal itu sebelum aku menikah. Isinya secara global begini…” jawabku sambil membenahi tempat duduk. Fafa terlihat sangat serius menanti kata-kataku. Bismillah semoga kata-kataku ini bisa membawa Fafa kembali ke jalanMu ya Alah…
“Aku lulus dari Fakultas Teknik umur dua puluh lima tahun. Setelah itu aku menikah seperti yang tertulis dalam proposalku. Aku mengurangi kegiatan diluar rumah, pengajianpun kupusatkan di rumah …, setelah itu lahir nanak-anak… jaraknya mereka cuma satu tahun, hanya si bungsu yang berjarak dua tahun dari kakaknya. Praktis aku menjadikan anak-anakku dan rumah tangga sebagai pusat seluruh kegiatan hampir sepuluh tahun. Setelah anak bungsuku Umar, bisa kutinggal dan mulai bisa bersosialisasi dengan teman sebayanya, aku kembali ke profesi mahasiswaku… gimana Fa?”
“Kau…ck! Kau hebat Nur.. dan suamimu bisa mengerti semua itu?” Tanya Fafa tidak percaya.
“Dia laki-laki yang hebat Fa…, dia itu faham sekali kecenderunganku. Bahwa aku tidak pernah dipisahkan dari ilmu dan dakwah…, oh ya .. dan jangan lupa Fa…, sebelum aku siap terjun ke dunia secara langsung seperti ini. Aku sudah menyiapkan usaha baru bagi anak-anakku..,” kataku lagi.
“Apa itu Nur…?”
“Learning and development Center for Islamic Children. Sebuah pusat Islam yang dibangun untuk keperluan ummat khususnya anak-anak muslim, yang memiliki klinik kesehatan untuk anak-anak, klinik konsultasi pendidikan bagi orang tua mereka, dan pendidikan dari tingkat TQ sampai sekolah lanjutan atas, “jawabku. Fafa semakin terlongong-longong..
‘Kau menyiapkannya sendiri?”
“Ya tidak…, ini kerja amal jama’i. Non…, beberapa sahabatku yang dulu kuliah di Fakultas Psikologi, kesehatan Masyarakat, Fakultas pendidikan, kedokteran, Teknik … kuminta untuk kembali. Dan bersama-sama membangun semua ini…”
“Dan aku ingin kau membantuku Fafa… seperti dulu kita sama-sama sibuk di Rohis…, bisikku. Fafa termenung.
“Kupikir…, semua muslimah yang berkerudung selalu berpikiran sempit…, cita-citanya hanya mandek sampai pintu dapur…, sahut Fafa lirih.
“Ah, kau pasti tidak cermat ketika membaca Fiqhul Aulawiyatnya DR Yusuf Qardhawi. Kata beliau: ‘Problem yang menghadap aktivitas kewanitaan Islam ialah sikap laki-laki yang senantiasa mengomando, mengarahkan dan menguasai urusan wanita. Tidak memberi peluang bagi “bunga-bunga” untuk tumbuh mekar…. Di kalangan wanita juga terdapat ketokohan dan kepeloporan seperti halnya laki-laki. Kepeloporan dan kejeniusan bukan hanya milik laki-laki saja,…” begitu kata beliau..” ujarku pada Fafa.
“Tapi, apakah mereka tidak takut tersaingi Nur? Kilah Fafa
“Fafa… Fafa…, aktivitas muslimah itu kan tidak semata-mata diabdikan untuk kebebasan mereka seperti layaknya wanita-wanita Barat itu Fa... kiprah mereka itu untuk dakwah. Lagi pula, mengurus anak-anak dan pendidikan, adalah tugas seorang ibu??”
“Iya…ya…”
Kuulurkan undangan munaqosyah (diskusi) tentang wanita pada Fafa.
“Datanglah…, ummat membutuhkan wanita-wanita seperti Anti…, “ kataku
“Tapi… aku…” katanya sambi mengelus rambutnya. Aku tersenyum.
“Tidak ada kata terlambat utnuk memulai dari awal lagi Fa...” kuulurkan sebuah bungkusan berisi kerudung berwarna biru muda, yang kubeli di toko muslim dekat kampus tadi selepas kuliah.
Fafa menatapku lekat-lekat. Matanya berkaca-kaca. Tangannya menggenggam erat jemariku. Ini lebih dari sebuah persetujuan untuk mengiyakan ajakanku untuk kembali. Alhamdulillah…
(Dari: Cahaya di atas cahaya, Izzatul Jannah)