Ketika Aktivis Harus Jatuh Cinta


Oleh : Alifa El-Khansa

Ketika Harus Jatuh Cinta, Catatan Kecil untuk Para Aktivis Dakwah Sejati
(Part 1: Fenomena)
Dakwah bagaikan cahaya yang terpantul dari kedalaman senyawa dalam dada.
Cahayanya terpantul karena banyaknya kaca hati yang terserak, menyertai segenap duka yang terpupuk atas nama surga.
Semakin banyak kaca hati yang terserak mampu melunturkan waktu yang kian menipis di kisi-kisi senja. Berharap cepat kembali demi sebuah cinta.

Bagi seorang aktivis, dakwah merupakan sebuah jalan panjang menuju surga-Nya yang penuh onak dan duri. Tidak akan disebut berdakwah ketika seorang aktivis tidak menemui cobaan dalam berdakwah. Karena memang cobaan adalah bagian dari dakwah itu sendiri dan Allah akan selalu menguji kesungguhan hati orang-orang yang telah berani mengatakan bahwa mereka beriman.

Banyak aktivis yang telah berhasil melewati berbagai fase cobaan dalam rentang dakwahnya yang panjang. Aktivis ini telah membuktikan dirinya di hadapan kaum muslimin dan Rabb bahwa dengan keteguhan hati dan kesabarannya telah berhasil melakukan terobosan-terobosan dakwah yang penuh strategi dalam melawan kebatilan. Aktivis ini menjadi tumpuan dakwah di tempatnya berada karena dapat dipercaya dan amanah dalam melaksanakan berbagai agenda. Ia layak digelari mujahidullah peradaban karena mampu bertahan dengan cobaan dakwah yang menyangkut strategi dalam melawan kebatilan.

Tetapi seringkali aktivis itu tidak menyadari bahaya cobaan yang sedang menerpa hatinya. Hatinya yang rapuh sering tergelincir dengan cinta terhadap lawan jenis yang tumbuh dari kebersamaan mereka dalam dakwah yang panjang dan penuh cobaan. Ta'awun yang mereka lakukan seringkali menimbulkan benih-benih terpendam. Lalu diam-diam mereka pupuk di dalam hati hingga akhirnya bunga bermekaran di mana-mana. Sayangnya, bunga itu bukanlah bunga mawar yang indah... Bunga itu tumbuh bukan dari keimanan, melainkan dari pandangan mata dan nafsu yang pelan-pelan merusak hati lalu menggerogoti jiwa yang lemah. Jiwa itu kini menjadi rapuh, merusak seluruh niat yang tersampir di dada lalu akhirnya merobohkan sendi-sendi dakwah.

Walaupun begitu, sulit sekali untuk melepaskan ‘dia' yang telah bersemayam di dada, jauh melebihi Dia yang selama ini selalu bersama kita dengan penuh cinta. Bagaimana bisa melupakannya begitu saja? Ketika seorang aktivis dakwah telah terlalu lama menancapkan panah-panah pandangan mata ke arah ‘dia' yang tampak indah dengan segala gerik dakwahnya, sedangkan Dia-Rabb yang selalu ada untuk kita tak pernah sekalipun menampakkan wujud-Nya, tentu saja sosok'nya' jadi lebih bermakna. Kita takut tegas padanya karena sebelumnya telah terbayang wajahnya yang memelas. Kita jadi takut berbuat salah padanya karena telah terbayang wajahnya yang merah padam. Sekarang di dalam pikiran hanya ada wajahnya dimana-mana! Inilah bahaya kalau para aktivis mengurangi porsi ghadul bashar pada lawan jenis...

Lalu setelah berusaha ghadul bashar dan meluruskan niat lagi, datang cobaan dari lingkungan sesama aktivis dakwah. Yang anehnya lagi, lingkungan aktivis kadang malah mendukungnya. Mereka ucapkan kata-kata penggoda untuk membuatnya merasa bahwa sosok ‘itu' juga pantas disandingkan dengannya. Hati yang telah kokoh dibentengi keimanan kepada Allah itu akhirnya kandas juga dimakan api asmara yang datangnya dari sesama para aktivis dakwah. Terkadang lingkungan aktivis dakwah sekalipun juga dapat menjerumuskan ketika orang-orang yang ada di lingkungan itu sendiri kurang bisa menjaga hati dan pandangannya. Benar-benar cobaan yang dahsyat! Harapan dan kenyataan untuk menggapai surga-Nya telah terkotori oleh cobaan cinta dari lawan jenis yang tidak mampu dimaknai sesuai porsinya. Kini, yang tersisa hanyalah puing-puing dakwah yang terserak, roboh terkena badai cinta.

Ketika Harus Jatuh Cinta, Catatan Kecil untuk Para Aktivis Dakwah Sejati
(Part 2:Antara Kejujuran & Ketulusan)
Cinta... tiada satu pun di dunia ini yang menafikan karena cinta sendiri merupakan senyawa yang menjadi fitrah manusia sejak dia ada. Sekarang, permasalahan yang muncul adalah apakah kita bisa menumbuhkan benih cinta yang ada di dalam hati sesuai dengan porsinya? Apakah kita mampu mensinkronisasikan cinta dengan dakwah yang telah menjadi darah daging kita sendiri? Ataukah kita memisahkan cinta dengan dakwah lalu jatuh terluka karena telah mencabik-cabiknya dari nyawa? Kita letakkan harapan pada hamba, yang bahkan masih mengeja makna cinta. Sedangkan cinta hanya mau berharap pada Ilahi Rabbi-Tuhan yang telah menjadikannya ada.

Andaikan kita menjadi seorang aktivis yang telah jatuh cinta pada seorang pengemban dakwah lainnya, apakah kita adalah orang yang lantas tergelincir dari jalan dakwah ataukah kita mampu bertahan lalu menjaga cinta kita sebagai rahasia saja? Atau jangan-jangan kita biarkan cinta dan dakwah berjalan beriringan. Kita berjuang untuk Allah sekaligus untuk mendapatkan cinta dari aktivis dakwah lainnya juga. Padahal kita mengetahui hanya amal yang niat tulus karena Allah saja-lah yang diterima oleh Allah.

Wahai para pengemban risalah Allah, sadarlah... Hanya kejujuran dan ketulusan sajalah yang mampu mengalahkan semua niat yang telah ternoda di dalam dada. Ketika niat telah terkotori dan cinta telah berharap pada selain Allah, jujurlah pada Allah. Utarakan kepada Allah dengan sejujurnya keinginanmu yang sebenarnya. Jika ingin bersatu dengannya, mintalah... Pun ketika hati ini ingin diluruskan oleh Allah, dihilangkan bayang-bayang dirinya dari pikiran, maka mintalah... Jujurlah pada Allah... Kenapa kita harus menutupi hal yang tampak di hadapan-Nya?

Tulus dan jujurlah hanya kepada Allah-Rabb yang Maha Mengetahui segala isi hati. Karena hanya Allah saja yang mampu jujur dan tulus kepada kita. Bukan pendamping dakwah yang kita harapkan atau bahkan lingkungan yang mungkin juga sedang futur.

Lalu ketika Allah telah membalas kejujuran itu, maka saatnya untuk tulus kepada Allah. Tulus atas apapun keputusan Allah yang diberikannya kepada kita. Seandainya Allah mengabulkan doa-doa kita, anggaplah ini sebagai kado kecil dari-Nya karena kita telah jujur pada-Nya. Jika Allah mengizinkan kita bersatu dengan kekasih hati, maka tuluskan lagi niat kita hanya karena Allah. Maka insyaAllah perjalanan dakwah ini dengan kekasih hati akan lebih indah dan diridhoi oleh-Nya. Sedangkan bila Allah justru memisahkan kita dengan kekasih hati, maka kita juga harus berusaha tulus menerima segala keputusan Allah. Ini adalah keputusan terbaik dari Allah dan tiada yang bisa menandinginya. Yakinlah dengan keputusan Allah ini, maka insyaAllah penggantinya akan lebih baik dari apa yang selama ini kita bayangkan.

InsyaAllah dengan kejujuran dan ketulusan cinta ini maka aktivis dapat melangkah di jalan dakwah dengan keyakinan teguh dan kesabaran. Akivis menjadi insan yang istiqomah melangkah di jalan dakwah. Aktivis menjadi mujahid yang berhasil dari segi strategi dan segi kesucian cinta. Semoga kita semua menjadi aktivis yang mampu jujur dan tulus kepada Allah atas fitrah cinta yang telah menjadi senyawa dalam jiwa kita. Amin...

Sebelum Pemuda ( kembali) Memimpin


Sebelum Pemuda ( kembali) Memimpin

oleh : Hatta Syamsuddin, Lc



Prasyarat kepemimpinan dalam Islam, tidak pernah disangkutkan dengan usia. Bahkan dalam Sholat sekalipun, urutan prioritas menjadi imam bukanlah ditangan mereka yang paling tua, akan tetapi yang paling faham dan hafal dengan kitabullah. Kalaupun ada syarat yang lain, adalah yang lebih dahulu hijrah atau masuk Islam. Lagi-lagi hal ini juga tidak selalu identik dengan prasyarat usia. Bukti yang lebih jelas lagi adalah diangkatnya Usamah bin Zaid ra oleh Rasulullah SAW untuk memimpin pasukan besar menuju Balqo’ arah Palestina pada tahun 11 Hijriyah. Sebagai catatan tambahan, usia Usamah pada waktu itu baru 18 tahun, sementara didalam pasukannya ada nama-nama besar, para sahabat veteran berbagai kancah jihad seperti Abu Bakar ra dan Umar.



Setelah ini semua, berarti tidak ada halangan syar’I yang tegas dari sisi usia untuk menjadi pemimpin. Akan tetapi permasalahan tidak sesederhana tersebut. Ada pertanyaan lain yang harus di jawab ; pemuda seperti apa yang ‘layak’ menjadi pemimpin. Ada sebuah ayat yang patut direnungkan mengenai kepemimpinan pemuda, baik kelebihan ataupun kekurangannya. Sebelum Anda wahai pemuda, berniat memimpin, mari kita kaji ulang tentang kelayakan Anda untuk memimpin.


Allah SWT berfirman : Dan Nabi mereka berkata kepada mereka “ Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu”. Mereka menjawab, “ Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ? “. (Nabi) menjawab : “ Allah telah memilihnya (menjadi raja) kamu dan memberikan kelebihan ilmu dan fisik.Allah memberikan kerajaan-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki dan Allah maha luas Maha Mengetahui “ ( QS al-Baqoroh 247 )


Dari ayat di atas, setidaknya diisyaratkan ada tiga kriteria inti dan satu kriteria tambahan untuk menjadi seorang pemimpin. Siapapun dia, pemuda atau orang tua. Nah, dari empat hal tadi, menurut penulis, para pemuda baru lulus satu kriteria dari empat yang ada. Itu artinya, silahkan mengejar tiga kriteria yang lainnya dan barulah Anda bisa dipertimbangkan untuk memimpin. Apa saja empat kriteria tersebut, berikut uraian singkatnya :


Pertama : Al-Isthifa’ ( Pilihan dari Allah )


Dalam ayat jelas disebutkan : :” Allah telah memilihnya “. Artinya ada rekomendasi langsung dari Allah SWT. Ini memang sebuah hal yang mutlak menjadi preogatif Allah SWT untuk memilih diantara makhluknya yang dianggap pantas untuk memimpin. Sekilas ini sama sekali tidakbisa diperjuangkan, akan tetapi ternyata kata ‘pilihan Allah’ itu nyaris identik dengan dicintai oleh Allah SWT. Ini pulalah yang terjadi ketika Usamah ditunjuk menjadi panglima pasukan, dan banyak sahabat yang meragukannya. Maka Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa Usamah adalah pilihan karena ia dicintai oleh Allah dan Rasulnya. Rasulullah saw bersabda kepada mereka yang meragukan kepemimpinan Usamah : “ kalian menghina kepemimpinan Usamah, sebagaimana kalian dulu juga menghina kepemimpinan bapaknya ( Zaid bin Haritsah) , Demi Allah sesungguhnya ia berhak atas kepemimpinan itu, dan dia termasuk seorang yang paling aku cintai, dan ini (Usamah) adalah orang yang paling aku cintai setelahnya “ ( HR Bukhori ).


Penegasan Rasulullah SAW tentang status Usamah sebagai pilihan dan yang berhak memimpin karena dicintai Rasulullah SAW (dan dicintai Allah juga) membuat para sahabat hanya bisa diam seribu bahasa.Sami’na wa atho’na. Ada juga hadits lain yang menegaskan ulang bahwa kriteria pemimpin pilihan adalah yang dicintai Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda : "Barang siapa yang mengangkat pemimpin suatu jamaah padahal di antara mereka ada orang lain yang lebih disenangi oleh Allah, berarti ia telah berkhianat kepada Allah, Rasul dan orang-orang yang beriman." (Riwayat Hakim dari Ibnu Abbas, dan Suyuti memberikan kode shahih terhadap hadits ini.)


Nah, menjadi semakin jelas bahwa sebelum menjadi pemimpin, haruslah dicintai Allah SWT terlebih dahulu. Pertanyaan yang harus dijawab selanjutnya adalah : Bagaimana cara paling tepat untuk dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya dapat kita lihat dalam ayat berikut. Allah SWT berfirman : “ Katakanlah (Muhammad) Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” ( QS Ali Imron 31)


Sehingga, syarat dicintai Allah –sebagaimana termaktub dalam ayat – adalah ittiba’ rasulullah saw. Inilah pekerjaan rumah yang panjang bagi para pemuda sebelum kembali memimpin. Arti sederhananya, bagaimana seorang pemuda harus mempunyai kualitas ibadah, aqidah dan akhlak yang kokoh terlebih dahulu, baru kemudian ia bisa dipertimbangkan untuk menjadi pemimpin.


Kedua : Ilmu dan Pemahaman

Kriteria yang ini mutlak tidak bisa tidak harus ada pada diri seorang pemimpin. Untuk urusan imam sholat sekalipun, yang diminta adalah yang paling banyak ilmunya tentang kitabullah. Lantas, bagaimana dengan ilmu dan pemahaman seorang pemuda. Tanpa bermaksud menggeneralisir, sebuah hal yang wajar bagi semua orang bahwa menuntut ilmu dan menambah pemahaman adalah aktifitas yang membutuhkan waktu, proses, dan tahapan-tahapan. Imam Syafi’I pun berseru lantang : ilmu tidak akan didapat kecuali seseorang menempuh masa tholabul ilmi yang panjang. Tinta sejarah Islam menyebutkan bahwa para ilmuwan muslim rata-rata berguru kepada syeikhnya dalam kurun waktu puluhan tahun. Bahkan contoh di jaman milenium ini, seorang mahasiswa doktoral pun diminta menyelesaikan disertasinya minimal selama 2,5 tahun. Itu artinya, sekalipun ia telah merampungkan disertasinya di tahun pertama, karyanya tersebut belum bisa disidangkan.


Pemuda dengan ‘jam terbang’ keilmuan yang terbatas akan sangat riskan jika harus maju menjadi pemimpin. Akibatnya bisa berarti kerusakan dan kehancuran. Tentang hal ini, Rasulullah SAW telah memberikan peringatan dalam sabdanya : “ Jika sebuah urusan diserahkan pada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya “ (HR Bukhori ).


Inilah yang seharusnya direnungkan oleh setiap pemuda yang merasa sudah saatnya memimpin. Pengalaman rapat, diskusi berjam-jam, hingga demonstrasi yang berdarah-darah sekalipun tidak lantas membuahkan sebuah pemahaman yang utuh akan manhaj Islam dan dakwah. Pemuda kita masih harus mengkhususkan sebagian waktunya untuk menambah ilmu dan pemahaman yang lebih signifikan. Ada baiknya kita renungkan pesan dua pahlawan Islam sebagai berikut :


Umar bin Khotob ra berkata : Tafaqqohuu qobla an tusawwaddu ( Tingkatkanlah pemahaman sebelum kamu diangkat jadi pemimpin ). Sementara itu, Ibnu Hajar dalam Fathul Bary mengutip ucapan Imam Syafi’I ra : Idza tashoddaro al-hadts faatahu ‘ilmun katsiir ( Apabila anak muda diangkat menjadi pemimpin maka ia kehilangan banyak Ilmu )


Ketiga : Kekuatan Fisik ( jasad)

Diisyaratkan dalam ayat tentang kekuatan fisik menjadi salah satu kriteria untuk menjadi pemimpin. Barangkali ini kriteria yang sepenuhnya dimiliki oleh para pemuda secara umum. Tidak ada yang meragukan kekuatan fisik para pemuda. Karena fase pemuda memang puncak kekuatan dalam fase hidup manusia. AlQuran sendiri melegitimasi kekuatan fisik sang pemuda dalam ayatnya : “ Allahlah yang menciptakan kamu dari keadaan lemah, kemudian dia menjadikan (kamu) setelah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kamu) setelah kuat itu lemah (kembali) dan beruban “ (QS Ar-Ruum 54)


Berkaitan dengan kepemimpinan, kita meyakini bahwa pemimpin adalah pelayan. Untuk itu, diperlukan sebuah stamina yang kokoh dan kemampuan mobilitas yang tinggi bagi seorang pemimpin. Jadi, kriteria fisik bukan sekedar untuk gagah-gagahan apalagi tebar pesona. Kriteria fisik murni untuk kontribusi bagi umat.


Ada dua hadits yang menyebutkan orang yang paling dicintai oleh Allah SWT. Pertama, Rasulullah SAW bersabda : “ Orang mukmin kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada mukmin yang lemah( HR Muslim). Mengapa orang mukmin yang kuat lebih dicintai oleh Allah SWT ? Jawaban sederhananya ada dalam hadits selanjutnya. Rasulullah SAW bersabda : " Orang yang lebih dicintai Allah adalah yang lebih banyak manfaatnya bagi orang lain “ (HR Thobroni). Dengan demikian, kekuatan fisik yang dimiliki oleh pemuda bukanlah hal yang istimewa disisi Allah kecuali jika telah digunakan untuk kepentingan orang banyak.


Keempat : Penerimaan publik

Ini bukan kriteria utama, akan tetapi tetap saja mempunyai efek yang signifikan. Dalam sholat sekalipun, tidak diperkenankan menjadi imam bagi mereka yang tidak disukai jamaahnya. Contoh sejarah telah banyak membuktikan bahwa kelancaran kinerja sebuah jamaah, organisasi, ataupun pasukan biasanya ditentukan faktor ketaatan pada pimpinan. Pada kondisi tertentu, ketaatan ini sangat berhubungan dengan penerimaan publik atau orang-orang yang dipimpinnya. Jika sejak awal ada ketidakpercayaan pada sosok pimpinan, maka ini akan sangat mengganggu kerja-kerja berikutnya.


Anehnya, inilah tipe masyarakat kita secara umumnya. Mereka mengharuskan pemimpin adalah seorang yang mereka cintai, terima, dan terpercaya. Dalam bahasa sederhana kita adalah kredibilitas dan penerimaan publik. Ini sebenarnya bukan fenomena baru. Rujuk kembali ayat diatas ( Al-Baqoroh 247), ketika Allah menggambarkan ketidakpuasan bani Israil dengan kepemimpinan Tholut: Mereka menjawab, “ Bagaimana Thalut memperoleh kerajaan atas kami, sedangkan kami lebih berhak atas kerajaan itu daripadanya, dan dia tidak diberi kekayaan yang banyak ? “. Thalut adalah seorang raja pilihan yang kurang dikehendaki oleh Bani Israil, karena bagi mereka seorang raja haruslah dari kalangan hartawan atau terpandang. Pandangan seperti ini pulalah yang menjadikan ada beberapa sahabat juga meragukan kepemimpinan Usamah sebagai panglima perang. Usamah ra kurang diterima secara publik selain karena masih muda, mungkin juga karena garis keturunan Usamah bukan keturunan bangsawan Arab, bahkan dari golongan budak.


Barangkali pemuda kita akan mengalami hal yang sama dalam kasus Usamah. Usia yang muda akan menjadi hambatan dalam penerimaan publik. Apalagi masyarakat kita masih memiliki nuansa feodal yang kental. Jangankan untuk urusan pemerintahan, untuk menjadi imam sholat pun para pemuda masih dipandang sebelah mata. Lihat saja masjid-masjid di desa atau sudut-sudut kota, para imamnya kebanyakan adalah bapak-bapak tua dengan kondisi fisik yang payah plus bacaan qur’an yang terengah-engah. Anak muda nyaris tidak pernah diijinkan melewati shof pertama untuk menjadi imam.


Dengan demikian, kepada Anda atau kita para pemuda yang mungkin merasa telah datang masanya mengambil tongkat estafet kepemimpinan, lihatlah sejenak diri kita dari semua sisinya. Apakah sekedar semangat reformasi yang menyala-nyala ditambah konsep-konsep idealisme tentang manajemen pemerintahan yang bersih, atau apakah memang kita sudah mengantongi kriteria-kriteria unggulan di atas. Masing-masing kita mempunyai jawabannya, hingga ketika nanti datang momentum yang tepat dimana pemuda kita sudah layak (kembali) memimpin, bolehlah Anda menyanyi dengan lantang :

PAK TUA SUDAHLAH…ENGKAU SUDAH TERLIHAT LELAH

PAK TUA SUDAHLAH..KAMI MAMPU UNTUK BEKERJA..“.

Wallahu a’lam bisshowab.

Bangkitlah Negeriku...



Tatap tegaklah masa depan
Tersenyumlah tuk kehidupan
Dengan cinta dan sejuta asa
Bersama membangun Indonesia

Pegang teguhlah kebenaran
Buang jauh nafsu angkara
Berkorban dengan jiwa dan raga
Untuk tegaknya keadilan

Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada
Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang

Bangkitlah negeriku harapan itu masih ada
Berjuanglah bangsaku jalan itu masih terbentang

Selama matahari bersinar
Selama kita terus berjuang
Selama kita satu berpadu
Jayalah negeriku jayalah!

OPTIMIS MENATAP TAHUN BARU



Beberapa hari lagi kita akan memasuki bulan Muharram, bulan yang menandai datangnya kembali tahun baru hijriyah. Kali ini kita memasuki tahun 1427 Hijriyah. Tentunya ada sejuta harapan dan impian yang memenuhi dada kita alam menyambut datangnya tahun baru hijriyah.

Dengan pergantian waktu setahun, menunjukkan bahwa umur kita bertambah satu tahun, tetapi kesempatan hidup kita di dunia telah ebrkurang pula satu tahun, yang berarti semakin jauh kita dari kelahiran dan semakin dekat kita kepada kematian.

Hasan al-Basri mengumpamakan manusia bagaikan kumpulan hari-hari, setiap hari yang pergi, kita seperti kehilangan bagian dari diri kita. Apa yang telah pergi tidak akan pernah kembali.

Tahun baru hijriyah mengingatkan kita kepada kejadian spektakuler yang pernah terjadi dalam sejarah Islam, yaitu peristiwa "hijrah". Hijrah secara harfiah artinya perpindahan dari satu negeri ke negeri lain, dari satu kawasan ke kawasan lain, atau perubahan lokasi dari titik tertentu ke titik yang lain.

Secara historis, hijrah adalah peristiwa keberangkatan nabi besar Muhammad s.a.w. dan para sahabatnya dari kota Makkah menuju kota Yathrib, yang kemudian disebut al-Madinah al-Munawwarah.

Ditetapkannya peristiwa hijrah Rasulullah dari Makkah ke Madinah sebagai awal tahun dari penanggalan atau kalender Islam, mengandung beberapa hikmah yang sangat berharga bagi kaum muslimin, diantaranya:

Pertama: perisitwa hijrah Rasululah dan para sahabatnya dari Makkah ke Madinah merupakan tonggak sejarah yang monumental dan memiliki majna yang sangat berarti bagi setiap muslim, karena hijrah merupakan tonggak kebangkitan Islam yang semula diliputi suasana dan situasi yang tidak kondusif di Makkah menuju suasana yang prospektif di Madinah.

Kedua: Hijrah mengandung semangat perjuangan tanpa putus asa dan rasa opimisme yang tinggi, yaitu semangat berhijrah dari hal-hal yang buruk kepada yang baik, dan hijrah daru hal-hal yang baik ke yang lebih baik.

Rasulullah s.a.w. dan para sahabatnya telah melawan rasa sedih dan takut dengan berhijrah, meski harus meninggalkan tanah kelahiran, sanak saudara dan harta benda.

Ketiga: Hijrah mengandung semangat persaudaraan, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. pada saat beliau mempersaudarakan antara kaum muhajirin dengan kaum anshar, bahkan beliau telah membina hubungan baik dengan beberapa kelompok yahudi yang hidup di Madinah dan sekitarnya.

Dalam konteks sekarang ini, pemaknaan hijrah tentu bukan selalu harus identik dengan meninggalkan kampung halaman seperti yang dilakukan oleh Rasulullah s.a.w. dan kaum muhajirin, tetapi pemaknaan hijrah lebih kepada nilai-nilai dan semangat berhijrah itu sendiri, karena hijrah dalam arti seperti ini tidak akan pernah berhenti.

Dalam sebuah riwayat dikisahkan, ada seorang yang mendatangi Rasulullah dan berkata: wahai Rasulullah,s aya baru saja mengunjungi kaum yang berpendapat bahwa hijrah telah telah berakhir, Rasulullah bersabda:”Sesungguhnya hijrah itu tidak ada hentinya, sehingga terhentinya taubat, dan taubat itu tidak ada hentinya sehingga matahari terbit dari sebelah barat”.

Untuk itu, mari kita jadikan makna hijrah dengan semangat menyambut masa yang akan datang dengan penuh harapan, kita yakin bahwa sehabis gelap akan terbit terang, setelah kesusahan akan datang kemudahan dan kita yakin bahwa pagi pasti akan datang walaupun malam terasa begitu lama dan panjang. Karena roda kehidupan selalu berputar dan tidak mungkin berhenti.
Imam Syafi’i pernah ebrkata:”Memang sebeanrnya zaman itu sugguh menakjubkan,s ekali waktu engkau akan mengalami keterpurukan, tetapi pada saat yang lain engkau memperoleh kejayaan”.

Mari kita jadikan peralihan tahun sebagai momen untuk melihat kembali catatan yang mewarnai perjalanan hidup masa lalu, dengan melakukan renungan atas apa yang telah kita perbuat. Kita gunakan kesempatan ini untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup di dunia dan akhirat kelak, dengan bercermin kepada nilai-nilai dan semangat hijrah dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat, karena sesungguhnya Allah menjadi pergantian siang dan malam untuk dijadukan pelajaran dan mengungkapkan rasa syukur, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Furqan:62:

وَهُوَ الَّذِي جَعَلَ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ خِلْفَةً لِّمَنْ أَرَادَ أَن يَذَّكَّرَ أَوْ أَرَادَ شُكُوراً"

Dan Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur. "

Postingan Lebih Baru Postingan Lama Beranda