Indonesia Menyikapi Perdagangan Bebas
Dibukanya hubungan perekonomian dengan negara-negara di seantero dunia merupakan konsekuensi yang luas terhadap perekonomian di suatu negara. Konsekuensi ini mencakup aspek ekonomis maupun non ekonomis, dan bisa bersifat positif maupun negatif.
Pada dasarnya barang dan jasa yang diproduksi sudah melebihi kebutuhan konsumsi manusia, sehingga dari pandangan ekonomi Islam, bahwa dari ketersediaan barang dan jasa secara melimpah ruah ini kemudian dapat dipastikan akan timbul masalah-masalah yang terkait dengan interaksi antar manusianya. Karena aktivitas ekonomi yang paling besar justru didominansi oleh transaksi barang dan jasa di tengah-tengah manusia. Dengan kata lain, distribusi barang dan jasa ditengah-tengah manusia menjadi problem asasi dibanding problem kelangkaan barang dan jasa tersebut. Lalu apakah problem distribusi tidak cukup untuk diselesaikan dengan mekanisme pasar bebas sebagaimana dalam ekonomi konvensional? Mari kita simak salah satunya dalam kesepakatan kerjasama perdagangan bebas Indonesia-China dan ASEAN.
Mulai 1 Januari 2010, Indonesia harus membuka pasar dalam negeri secara luas kepada negara-negara ASEAN dan Cina. Sebaliknya, Indonesia dipandang akan mendapatkan kesempatan lebih luas untuk memasuki pasar dalam negeri negara-negara tersebut. Pembukaan pasar ini merupakan perwujudan dari perjanjian perdagangan bebas antara enam negara anggota ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Singapura, Filipina dan Brunei Darussalam) dengan Cina, yang disebut dengan ASEAN-China Free Trade Agreement (CAFTA). Perjanjian ini sebenarnya sudah direncanakan sejak tahun 2002. Pertanyaannya, apakah kebijakan pasar bebas ini akan membawa perubahan nasib rakyat negeri ini yang masih dihimpit dengan kemiskinan?
Ernovian G Ismy, Sekjen Asosiasi Pertekstilan Indonesia menyatakan kekhawatirannya atas pemberlakukan perdagangan bebas ASEAN-Cina, di antaranya terjadinya perubahan pola usaha yang ada dari pengusaha menjadi pedagang. Intinya, jika berdagang lebih menguntungkan karena faktor harga barang-barang impor yang lebih murah, akan banyak industri nasional dan lokal yang gulung tikar hingga akhirnya berpindah menjadi pedagang saja (Republika, 4/1/2010).
Implikasi dari kebijakan perdagangan bebas antara Indonesia dan China
Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian pemerintah atas persetujuan perjanjian perdagangan bebas tersebut, terutama dari kesiapan kalangan industri-industri dalam negeri kita, serta faktor-faktor pendukung dalam meningkatkan daya saing terhadap produk-produk China. Kemudian apakah China merupakan negara yang tepat dalam menjalin kerjasama dalam perdagangan bebas tersebut? Beberapa hal ini lah yang kini menjadi perhatian kalangan para industri.
Dari sumber yang didapat, dalam praktiknya pasar China hanya menyumbang sedikit dari rata-rata pendapatan perusahaan-perusahaan multinasional yang beroperasi di negaranya. Pasar China hanya menyumbang kurang dari 2 persen dari penjualan peruahaan sekaliber Pfizer, Astra-Zeneca, dan Bayer. Contoh lain, Procter and Gamble (P&G) merupakan salah satu perusahaan manufaktur multinasional raksasa yang hanya mendapatkan kurang dari 5 persen dari total pendapatannya dipasar China (The Economist, 17 Oktober 2009). Praktik proteksionisme tetap terjadi di RRC, bahkan pasca tergabungnya negara itu dalam rezim perdagangan bebas WTO pada tahun 2001.
Sampai dengan 2007, nilai impor Indonesia terhadap RRC telah mencapai 8,5 miliar dollar Amerika Serikat. Angka ini menempati urutan kedua dalam daftar negara importer ke Indonesia. Peringkat pertama ditempati Singapura dengan nilai sebesar 9,8 miliar dollar AS. Sedangkan RRC hanya menjadi tujuan terbesar keempat dalam ekspor Indonesia setelah Jepang, AS, dan Uni Eropa. Ironi masih terjadi di dalam negeri kita. Jika dilihat dari indeks produksi industri sedang dan besar pada triwulan I tahun 2008, hampir semua sektor dalam industri manufaktur di Indonesia mengalami penurunan. Hanya ada empat sektor yang mengalami penguatan, yakni industri makanan dan minuman, indsutri pengolahan tembakau, industri barang dari kulit dan alas kaki, serta industri furniture dan pengolahan lainnya. Sangat disayangkan upaya untuk meningkatkan kinerja ekonomi nasional belum mencapai harapan. Masuknya produk China tentu akan semakin memberikan keuntungan baginya karena konsumsi dalam negeri kita yang semakin meningkat, tetapi sekaligus menjatuhkan industri manufaktur nasional Indonesia. Padahal, dari seluruh sektor ekonomi penyumbang produk domestik bruto Indonesia, industri manufaktur hingga tahun 2008 masih menempati urutan pertama dengan persentase sebesar 27,8 persen. Posisi kedua adalah sektor pertanian, peternakan, kehutanan, dan perikanan dengan persentase 14,3 persen dan posisi ketiga adalah perdagangan, hotel dan restoran yang mencapai 13,9 persen.
Dari sini dapat kita lihat bahwa perdagangan bebas yang telah dilaksanakan pada tahun 2010 ini akan mengancam industri dalam negeri kita. Hal ini mungkin disebabkan karena penandatangan perjanjian perdagangan bebas Indonesia dengan China tanpa melibatkan para industriwan yang tidak lain merupakan aktor utama dalam persaingan tersebut. Kebanyakan industri-industri dalam negeri kita masih banyak yang belum siap dalam menghadapi perdagangan bebas tersebut.
Disisi lain kalau kita lihat dari kesiapan negara China dalam menghadapi pasar bebas tersebut, mereka sudah mempersiapkan pembangunan industrinya secara serius. Hal ini dapat kita lihat dari pembangunan infrastruktur yang sudah memadai, energi sangat mendukung aktifitas industri,dsb. Hal ini berlawanan dengan keadaan sebenarnya di Indonesia. Ditengah gencar-gencarnya dalam menghadapi perdagangan bebas di Indonesia, pemerintah kurang memperhatikan kesiapan industri dalam negeri kita. Banyak faktor-faktor yang dianggap penting dalam mendukung daya saing produk kita yang kurang mendapat perhatian serius oleh pemerintah kita.
Untuk mengimbangi kemampuan para pengusaha yang merasa kesulitan dalam bersaing menghadapi produk China dalam perdagangan bebas, untuk itu pemerintah diharapkan membenahi kembali secara serius faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam meningkatkan daya saing industri kita terhadap produk-poduk impor China ke Indonesia. Dan juga diperlukan strategi pengimbang yang harus dijalankan oleh pemerintah dalam menyikapi kebijakan persetujuan perdagangan bebas antara ASEAN dengan China yang telah berlaku di Indonesia sejak 1 Januari 2010 lalu, diantaranya yaitu: pemerintah perlu mensosialisasikan cinta produk dalam negeri kepada masyarakatnya, karena produk yang dihasilkan didalam negeri memiliki kualitas yang tak kalah sama dengan yang diproduksi dari China, semangat nasionalisme masyarakat kita perlu dibangun kembali.
Dari sini pun telah terungkap fakta yang menunjukkan bahwa produksi barang dan jasa dalam negeri yang melimpah ruah saat ini belum terdistribusi secara adil di tengah-tengah kita sehingga Mekanisme pasar bebas hanya membuat pihak yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin dan ini berarti bahwa mekanisme pasar bebas telah gagal.
Sesunguhnya Islam telah menawarkan kepada umat suatu sistem ekonomi yang dapat membangun kemandirian negara sekaligus menjamin berkembangnya industri-industri dalam negeri serta sektor ekonomi lainnya. Sistem Ekonomi Islam mengatur kepemilikan individu, kepemilikan negara dan kepemilikan umum. Kewajiban negara adalah memastikan tersedianya bahan baku, energi, modal dan pembinaan terhadap pelaku ekonomi rakyatnya. Negara juga wajib mengatur ekspor dan impor barang sehingga betul-betul bisa mendatangkan kemaslahatan bagi masyarakat. Eskpor bahan mentah, misalnya, seharusnya dibatasi. Sebaliknya, ekspor barang-barang hasil pengolahan yang lebih memiliki nilai tambah harus terus ditingkatkan selama telah memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebaliknya, impor barang-barang yang bisa mengancam industri dalam negeri harus dibatasi. Impor seharusnya hanya terbatas pada barang-barang yang bisa memperkuat industri di dalam negeri. Semua itu dilakukan antara lain dalam melindungi berbagai kepentingan masyarakat. Sebab, kewajiban negaralah untuk menjadi pelindung bagi rakyatnya.
Untuk mengelola problem ekonomi yang mendunia ini Islam memiliki cara pandang yang tepat melalui ilmu ekonomi Islam yang telah jauh-jauh hari mengaturnya. Ekonomi Islam terfokus mengatur perbuatan manusia yang terkait dengan barang dan jasa pada intinya Islam diturunkan tidak untuk mengatur kuantitas barang dan jasa, tetapi kualitas barang dan jasa. Problem ekonomi yang asasi menurut pandangan ekonomi Islam adalah masalah interaksi barang dan jasa di tengah-tengah manusia. Ekonomi Islam lebih terfokus kepada perbuatan manusianya, bukan terfokus pada kuantitas barang dan jasanya, sebagaimana dalam ekonomi konvensional. Ekonomi Islam bersifat mengikat terhadap seluruh manusia dan Allah telah menyiapkan siksa bagi yang menyimpang darinya. [fa_berbagai sumber]